Friday, December 31, 2010

Waduk Gajah Mungkur

            Waduk Gajah Mungkur merupakan salah satu wisata unggulan di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Objek wisata ini menyajikan pemandangan waduk yang menghampar luas dan dikelilingi pegunungan. Objek ini juga dilengkapi dengan sarana bermain anak-anak, naik gajah, atraksi gajah, panggung hiburan, kebun binatang, kolam renang, naik perahu, dan tentunya tersedia aneka masakan ikan. Objek ini terletak sekitar 3 km sebelah barat kantor Kabupaten Wonogiri.
            Hari Sabtu kemarin, saya mendapat kesempatan mengunjungi objek wisata ini. Ibu sengaja mengajak teman-teman guru di TKnya untuk ikut rekreasi. Pukul 8 pagi Mbak Endang dan Dek Lintan sudah datang ke rumah saya. Sambil menunggu teman ibu yang lain datang, saya mengajak Dek Lintan main-main dulu. Pukul 8.45 akhirnya kami semua sudah berkumpul di rumah saya.

 
 Gambar Gendong Dek Lintan

            Pukul 9 pagi kami sekeluarga berangkat dari rumah. Rute yang kami tempuh yaitu rumah à  Warung Ayu à Karangmojo à Semin à Manyaran à Wonogiri. Sepanjang perjalanan, kendaraan ramai melalui jalan yang kami tempuh. Mungkin karena hari itu hari libur jadi banyak dimanfaatkan banyak orang untuk berbagai acara. Jalan dari Karangmojo à Semin masih lumayan baik namun jalan Semin à Wonogiri sudah rusak. Banyak ditemukan lubang-lubang sepanjang jalan. Kami bahkan sempat menjumpai kecelakaan di daerah Manyaran. Sebuah mobil Kijang masuk ke dalam jurang yang berada di tepi jalan. Alhamdullilah kami bisa selamat sepanjang perjalanan kemarin.
            Pukul 10.40 kami sampai di Objek Wisata Waduk Gajah Mungkur. Dari kejauhan, sudah terlihat banyak mobil ataupun motor memadati area parkir. Ketika kami semakin mendekat ke gerbang masuk, ternyata area parkir di dalam sudah penuh. Kami terpaksa memarkir kendaraan di luar gerbang. Untung kami mendapat tempat parkir yang teduh di bawah pohon.
            Kami semua turun dari mobil dan berjalan masuk ke objek. Ibu mengurus tiket masuk dan tiket parkir. Tiket masuk objek wisata ini cukup terjangkau. Tiket untuk satu orang Rp 3000 dan parkir kendaraan roda empat Rp 1500. Sesampainya di dalam objek, kami berkumpul dan istirahat bersama di suatu pendopo yang cukup rindang. Ibu lalu membuka bekal makanan yang di bawa dari rumah. Kami lalu makan bersama dahulu sebelum nanti muter – muter. Seusai makan kami lalu muter – muter objek. Dek Vera dan bapak ibunya langsung menuju arena permainan anak – anak, sedangkan saya, bapak, ibu, dll menuju kebun binatang. Di sepanjang jalan menuju kebun binatang, banyak penjual topi. Saya jadi kepingin beli topi. Akhirnya saya beli sebuah topi merah jambu. Hehe…

Gambar Topi Baru Oi…

            Kebun binatang  yang ada di sini sudah banyak mengalami perkembangan. Waktu saya pertama kali ke sini tahun 1995 yang lalu, binatang yang ada hanya monyet. Saat ini kebun binatang di sini sudah ditempati berbagai binatang. Ada binatang rusa, kancil, elang, ular, landak, beruang, monyet, cenderawasih, buaya, dan tentunya gajah.
Gambar Ayam Mutiara

Gambar Beruang Madu


Gambar Gajah


            Setelah puas melihat berbagai binatang yang ada di kebun binatang, kami berjalan santai di tepi waduk. Kami lalu istirahat di suatu rumah-rumahan di tepi danau. Angin semilir yang bertiup sungguh membawa kesejukan di hari yang terik. Ibu dan bude sempat membeli pecel di sana, sedangkan bapak dan Pak Saniyo menonton orang mancing di tepi waduk. Oh ya pecel Wonogiri sudah terkenal kelezatannya. Ada yang khas di pecel Wonogiri yaitu cambah manding…
Gambar Mbak Endang, Dek Lintan dan Ibu


Gambar Dermaga Waduk Gajah Mungkur

            Kami lalu melanjutkan perjalanan. Kami berencana naik perahu di sana lalu nanti mampir ke pasar ikan yang ada di tengah danau. Kami berjalan mengikuti jalan aspal untuk menuju dermaga. Saat di jalan, tak saya sangka, suatu kebetulan yang mengejutkan, saya bertemu dengan teman-teman SMA saya.
          Kami lalu menuju dermaga untuk naik perahu. Tiket naik perahu untuk satu orang Rp 6000. Hampir semua rombongan kami naik perahu, kecuali Mbak Endang dan Dek Lintan. Ternyata rute perahu kali ini tidak seperti biasanya. Perahu yang kami tumpangi hanya sampai tempat keramba ikan, tidak sampai ke pasar ikan.
 Gambar Naik Perahu

  
Gambar Bapak di atas perahu



Gambar Mom and Me
 


            Sekitar lima belas menit kemudian, kami telah kembali ke dermaga. Kami lalu turun dari perahu. Saya, bapak, dan ibu turun paling akhir. Kami foto bersama dulu, namun lagi – lagi saya dipertemukan kembali dengan teman-teman SMA saya. Mereka juga mau naik perahu. Kami bertemu kembali di dermaga. Mereka mulai menaiki perahu dan saya kembali ke daratan. Saya melanjutkan naik gajah.


Gambar Gajah dan penumpangnya

Gambar Naik Gajah

            Perjalanan dilanjutkan menuju ke arena permainan untuk menjemput Dek Vera, Alif, dan Dek Lintan yang sedang bermain di sana. Saya dan ibu mencari – cari mereka namun sulit ketemu. Akhirnya beberapa menit kemudia kami semua bisa bertemu dan bersiap – siap pulang. Kami lalu berjalan menuju tempat parkir kendaraan.
            Alhamdulliah acara rekreasi di Waduk Gajah Mungkur selesai. Kami mulai meninggalkan waduk itu. Di jalan kami mampir makan bakso. Kami lalu mengambil rute pulang yang berbeda dengan rute ketika berangkat tadi. Kami lewat jalur selatan yaitu Wonogiri à Praci à Bedoyo à Ponjong. Kami lewat Praci dan tentunya juga lewat depan rumah Oktri. Saya mau mampir sebentar, namun hp Oktri saya hubungi tidak ada balasan. Kami terus melanjutkan perjalanan karena hari memang sudah semakin sore. Tapi sebelum kami pulang, kami mampir dulu ke Museum Karst Dunia yang masih berada di wilayah Praci. Sayangnya, musemnya sudah tutup setengah jam sebelum kami sampai di sana.
Gambar Museum Karst Dunia

 

Take a picture

            Setelah puas jalan – jalan di sekitar museum, kami melanjutkan perjalanan pulang. Tak sampai 20 menit, kami sudah sampai di Bedoyo. Kami lalu mengambil jalan pintas lewat Trenggono à Kuwon à Ponjong. Jalan tersebut ternyata sudah rusak, tapi alhamdullilah jaraknya lebih pendek. Kami juga melewati Sumber Ponjong. Ketika lewat sana, banyak anak kecil sedang jeguran. Pukul 16.45 akhirnya kami sampai rumah dengan selamat. Alhamdullilah…..

Tuesday, December 14, 2010

Tempat Pensil

"Ibu..Ibu..lihatlah tempat pensilku, penuh dengan pulpen berwarna pink dan alat tulis yang lain, " aku berkata dengan gaya bicara anak 5 tahun kepada ibu.

Ibu menanggapinya dengan bercanda, dengan reaksi menghadapi anak usia 5 tahun pula. Beberapa jam setelah kejadian itu, aku telang pulang ke Jogja. Sesampainya di kos, aku langsung memberi kabar kepada ibu kalau aku sudah sampai kos dengan selamat dan tidak kehujanan. Hujan turun setelah beberapa saat aku telah sampai di kos. Ibu lalu membalas smsku, berucap syukur karena aku telah sampai dengan selamat. Namun ada satu kalimat lagi yang membuatku tertawa.

"Dek tempat pensilmu ketinggalan di kamar ibu, makanya jangan pamer."

Aku tidak sedih tapi justru tertawa. Ibu bisa-bisa aja..Aku lalu membalasnya..

"Nggih boten napa-napa, tolong disimpenke mawon nggih^_^"

Dua hari kemudian, Dek Fitri datang ke kos untuk mengantarkan tempat pensil itu. Ternyata ibu repot-repot telah menitipkan pensil itu kepada Om Bambang. Om Bambang lalu menitipkannya kepada Dek Fitri dan malam itu diiringi hujan deras, dia mengantarkan ke kosku bersama Mbak Ema. Saya sungguh terkejut. kotak pensil ini hanya berisi alat tulis. Sementara waktu aku sudah membeli pulpen untuk menulis, tapi ternyata aku sudah merepotkan banyak orang karena merepotkan banyak orang.

Satu hari setelah bersama tempat pensilku, dia tiba-tiba mereganggkan nyawa alias putus alias rusak. Tutup tempat pensilku copot dan tidak bisa disatukan lagi. Oh tempat pensilku...

Saturday, December 11, 2010

Tiga Anak Kecil

            Siang itu dua anak perempuan kecil berjalan beriringan di jalan setapak. Jalan yang mereka susuri terbuat dari tanah dan membelah sawah yang menguning di kanan kirinya. Seorang anak yang lebih tua berjalan di depan sedangkan anak yang satunya mengikutinya di belakang. Anak yang di depan berjalan dengan gembira sambil tertawa. Anak yan berada di belakang hanya diam, menyimpan kebingungan.
            Di kejauhan terlihat seorang anak laki-laki kecil berjalan semakin mendekati mereka. Kini tawa hadir di bibir mereka berdua setelah tawa itu hanya dimiliki oleh anak yang berjalan di depan.
            “ Eh Febri sudah pulang sekolah ya?” tanya anak yang lebih kecil.
            “ Iya, aku sudah pulang sekolah. Bu Guru mau pergi rapat” jawab Febri.
            “ Kalau begitu, ayo ikut main bersama kami,” ajak anak yang lebih besar.
            “ Kemana?”
            “ Ayo ikut saja,” anak yang lebih besar meyakinkan.
            Akhirnya Febri mau ikut pergi bersama dua anak tersebut. Febri berbalik arah, menyusuri kembali jalan yang telah dia tempuh. Siang yang terik, ketiga anak itu berjalan beriringan di jalan sawah. Kian lama kian jauh hingga tidak terlihat lagi, hingga ujung sawah tlah habis mereka lalui.
            “Febri hati-hati menginjakkan kaki, tebing di sini curam dan berbahaya,” anak yang lebih besar mengingatkan.
            “Iya Kak, banyak duri juga di sini,” anak yang lebih kecil menambahkan.
            Kini, mereka bertiga sedang berjalan di tepi tebing yang curam. Di sebelah kanan mereka terdapat gunung yang ditumbuhi pohon- pohon jati dan semak belukar. Di sebelah kiri mereka terdapat jurang yang dalam dan di bawahnya mengalir sungai yang berbatu.
            Tiga anak kecil itu saling berpegangan, saling bantu menarik teman, saling berpegang pada batu agar tidak jatuh. Mereka sungguh telah melakukan hal gila. Berkeliaran di antara tebing yang curam, tanpa ada orang lain di sekitar mereka. Namun mereka sepertinya tidak peduli ataukah mereka belum mengerti betapa besar bahaya yang mereka hadapi.
            Tiga anak kecil tersebut terus berjalan, dan mereka berhasil melalui tebing yang curam itu. Mereka telah sampai di sebuah jalan yang besar meskipun berbatu. Mereka terus berjalan dengan riang, menuju suatu tempat yang mereka impikan. Mereka berjalan menuju sebuah jembatan. Ikan – ikan kecil terlihat jelas sedang berenang di sungai bawah jembatan. Tiga anak kecil itu tertarik pada ikan – ikan itu. Mereka lalu menghentikan langkah mereka, lalu turun ke bawah jembatan untuk melihat ikan – ikan itu. Sempat salah satu dari mereka berpikiran untuk menceburkan diri ke sungai dan menangkap ikan itu, namun ternyata keinginan melihat tempat yang mereka impikan telah mengalahkan niat mereka menceburkan diri ke kolam.
            Mereka lalu meninggalkan sungai itu, kembali meneruskan perjalanan. Jalan yang mereka tempuh kini menanjak, amat tinggi untuk anak kecil seukuran mereka. Namun mereka terus berjalan menuju puncak jalan itu. Karena mereka yakin di ujung tanjakan itu ada jalan yang menurun lalu mereka akan menemukan rawa yang indah dengan teratai di atasnya. Mereka yakin akan menemukan gunung dan gua yang indah. Akhirnya mereka terus bertekad mengayunkan langkah meskipun sebentar-sebentar istirahat di jalan.
            Ujung tanjakan hampir mereka capai ketika seorang nenek tua muncul dari balik tanjakan. Nenek itu menggendong tenggok1 dan berjalan menghampiri mereka.
            ”Nduk, Le, kalian mau ke mana?” tanya nenek itu.
            “Mau ke rawa Mbah,” jawab anak perempuan yang kecil.
            “Weleh-weleh kalian ini anak kecil jangan main ke rawa, berbahaya kalau tidak ada orang besar yang mengawasi.”
            “Kami sudah besar kok Mbah, jawab anak perempuan yang lebih besar.
            “Sekarang simbah sarankan untuk pulang saja, lihat langit sudah mendung mau hujan, nanti orangtua kalian cemas,” ujar nenek itu. Nenek itu lalu pergi meninggalkan mereka, berjalan menuruni tanjakan.
            Mereka bimbang namun akhirnya mereka mengikuti saran nenek itu untuk kembali pulang. Ketika mereka berbalik untuk menuruni tanjakan, banyangan nenek itu sudah tidak terlihat. Entah karena nenek itu berjalan cepat sehingga sudah tidak terlihat ataukan nenek itu hantu?
            Mereka berjalan pulang menyusuri tebing, sawah dan sampailah di kampung tempat mereka tinggal. Sesampainya di kampung, kehebohan besar menyambut mereka. Ya, mereka telah membuat seisi kampung cemas. Kepergian mereka bertiga tanpa pamit telah membuat seisi kampung kelabakan mencari mereka. Kini warga dan orangtua anak-anak itu lega meskipun masih marah. Anak perempuan besar yang mendapat perlakuan lebih memprihatinkan kerena dialah anak terbesar meskipun usianya baru 8 tahun. Anak  perempuan besar itu dimarahi orangtuanya sendiri dan juga orangtua dari dua anak yang lain, terutama ayah Febri. Ayah Febri tidak terima anaknya yang masih berusia 5 tahun di ajak pergi ke tempat yang berbahaya oleh anak perempuan itu. Anak perempuan itu sempat berhari-hari tidak keluar rumah karena dimarahi orangtuanya sendiri dan juga orang tua yang lain. Anak perempuan itu sangat takut, terutama kepada ayah Febri.
            “Jangan dekati anakku lagi!” bentak ayah Febri suatu hari.
            Seiring berjalannya waktu, ayah Febri, Febri, anak perempuan yang kecil, dan anak yang perempuan yang besar telah rukun kembali. Tiga anak kecil itu kembali meniti kehidupan menuju usia yang kian menanjak seperti jalan menanjak yang tak sempat kami capai. Ya, anak perempuan berusia 8 tahun yang telah menyesatkan dua anak orang itu adalah saya sendiri, Cahyani Eka Romadhoni. Anak perempuan kecil yang satunya adalah Dek Putri, tetanggaku yang kini sedang menimba ilmu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedangkan Febri adalah tetangga dekatku sewaktu saya masih tinggal di Silingi. Kini Febri sedang sekolah di SMA Muhammadiyah Ponjong.
            Mengapa saya bisa berbuat hal gila seperti itu? Mungkinkah mereka masih mengingat hal gila itu? Mungkinkah orangtua mereka masih membenciku? Apapun yang terjadi saya sangat bersyukur masih diberi keselamatan saat itu. Biarlah kisah ini menjadi pengalaman yang berharga bagiku dan tentunya kepada dua anak yang lain. Ya semoga…

                                                                                    Teruntuk teman kecilku : Putri dan Febri
                                                                                            Gunungkidul, Desember 2010
           
           

Wednesday, December 8, 2010

TAJIN

Daun padi hijau menyala, tersiram curahan sinar mentari yang baru saja bangun dari peraduan. Samar – samar terdengar kicauan burung emprit yang biasanya pagi buta telah memakan padi di sawah petani. Deru motor memecah kesunyian desa yang tentram.
 Di sebuah rumah, di mana sinar mentari menembus ke dalam melalui celah dinding bambu yang sudah tua, aku duduk. Duduk bukan sekedar ditempat duduk sambil santai mendengarkan musik pagi ataupun menikmati sarapan pagi. Aku berusaha menjaga nyala api di tungku batu agar tidak padam. Meniup, mengatur posisi kayu, ataupun mengipasinya dengan kipas bambu. Di atas perapian, ketel nan legam termakan angus1 bertengger dengan tenang.  Di dalam ketel itu, biji – biji beras bergemuruh bersama air mendidih hendak matang.
            Mbok2 saya minta tajin3 ya?”
            ” Iya Nduk, cepat kamu ambil tajinnya sebelum airnya kering.”
Aku berhati – hati mengambil air beras yang ada di ketel. Aku tuangkan ke dalam mangkok kecil berwarna putih kusam. Tak lupa aku menaburi air tajin yang telah dituang dengan gula merah yang diiris kecil – kecil. Air beras dan gula merah itu aku aduk agar merata. Setelah siap aku hidangkan di meja.
            ” Nduk, kenapa belum kamu makan tajinmu itu? Nanti keburu dingin.”
            ” Tidak Mbok, tajin itu untuk Mbok,” kataku.
            ” Nanti Mbok bisa makan singkong yang akan dibawakan bapakmu sepulang dari ladang.
  Tajin ini kamu makan dulu. Kamu harus sarapan sebelum berangkat sekolah, Nduk.”
Baiklah Mbok, akan saya makan tajin ini.”
Perasaan gembira menyelimutiku. Lapar yang mendera sepanjang hari nanti akan sirna oleh sedikit tajin ini. Aku juga tidak akan diolok – olok temanku lagi dengan kata – kata ”Si Bocah yang kelaparan” ataupun ”Si Bocah yang tak pernah sarapan.”  Berbekal sarapan tajin tadi, aku berangkat riang gembira ke sekolah kecil di pusat desa. Langkahku ringan seperti kapas. Dadaku bergemuruh seperti genderang ditabuh. Maklumlah, hari – hari sebelumnya aku tidak pernah sarapan. Untuk membeli kebutuhan sehari – hari sulit bagi keluargaku, apalagi membeli susu untuk sarapan pagi seperti teman – temanku.
~~~☺~~~

Sesampainya di sekolah, teman – temanku belum banyak yang datang. Suasana kelas masih sepi. Seperti biasanya aku selalu menjadi murid yang berangkat paling awal ke sekolah. Sambil menunggu teman – temanku datang, aku membaca buku cerita yang kemarin aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Aku membaca buku cerita itu sambil mondar – mandir di dalam kelas seolah sedang mempelajari pelajaran yang sulit. Sesampainya di pojok ruangan ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sekor tikus kecil berwarna hitam terperangkap di dalam tempat sampah. Aku sangat tertarik untuk mengamatinya. Kudekatkan kepalaku ke dalam tempat sampah itu. Betapa takutnya tikus itu ketika aku mendekatinya. Tikus itu melompat – lompat ketakutan di dalam tempat sampah itu. Lompatan yang cukup hebat membuat tempat sampah yang hanya terbuat dari plastik itu jatuh terguling. Serta merta tikus itu dengan mudah kabur dari tempat sampah yang telah menjebaknya selama ini.
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa aku dan teman – temanku sudah duduk rapi di depan meja masing – masing. Di depan kelas, Bu Kusmi sudah siap mengawali pelajaran hari ini. Seperti biasanya, beliau selalu mengecek keadaan kami. Tak terkecuali menanyakan kepada kami sudah sarapan atau belum.
            ”Anak – anak sudah sarapan belum?” tanya ibu guru sopan.
            ” Tentu sudah Bu! Saya sarapan susu dan telur pagi tadi,” celoteh temanku.
Kini giliran ibu guru menanyaiku. Dengan perasaan senang aku siap menerima pertanyaan dari ibu guru. Lain halnya dengan ibu guru, dia tentunya merasa yakin bahwa aku seperti biasanya tidak pernah sarapan.
            ”Ratmi sarapan tidak pagi tadi?”
            ”Tentu Bu, saya sarapan!”
            ”Ratmi sarapan?Benarkah?”
            ” Iya Bu, saya sarapan dengan tajin.”
            Tiba – tiba tawa gemuruh teman – teman terjadi ketika aku selesai mengucapkan kata ”tajin”.
            ”Hah apa itu tajin? Makanan jaman purba ya?”
            Celetuk seorang temanku membuat tawa di kelas semakin bergemuruh.
            ”Anak – anak tenang, kalian tidak boleh mengejek teman kalian.”
            ” Kami tidak mengejek Bu, tapi itu kenyataan. Masa di jaman sekarang masih ada yang
makan tajin.”
            ”Anak – anak ayo tenang, kita akan segera memulai pelajaran.

~~~☺~~~
            Perasaan gundah gulana mengiring perjalanan pulangku dari sekolah. Langkah yang tadi pagi terasa ringan, kini seolah dibebani batu berton – ton beratnya. Mataku sayu, hatiku sakit, semangatku pudar. Tajin yang tadinya menjadi andalanku untuk sarapan pagi ini sekarang bak aib yang telah mempermalukanku dengan seisi kelas. Pikiranku benar – benar telah terkonsentrasi pada kejadian tadi pagi di kelas. Aku hingga tidak menyadari buah mahoni berterbangan jatuh dari pohon yang tak jauh berada di sampingku. Cara jatuh buah mahoni yang berputar – putar indah benar – benar tidak menarik pandangan mataku yang hampa. Biasanya sepulang sekolah aku memunguti buah mahoni bersama teman – temanku. Buah itu biasanya aku hadiahkan untuk kakek. Kakek telah mengobati berbagai penyakit hanya dengan mengkonsumsi buah mahoni itu. Namun kali ini aku menghiraukannya. Aku terus berjalan pulang, sudah tak sabar aku menumpahkan kesedihan ini di rumah.
            ”Nduk kamu ini kenapa?Sampai rumah nangis.”
            ”Saya diejek Mbok gara – gara sarapan tajin.
            ” Siapa yang ngejek Nduk?”
”Teman – teman sekolah Mbok. Mereka mengejek saya gara – gara hanya sarapan tajin. Kata mereka itu makanan kuno, jaman purba, ketinggalan jaman jika di makan di jaman modern ini.”
Mbok seketika itu mendadak sedih. Iya berusaha menahan air matanya yang sudah hampir jatuh. Perasaan bersalah karena tidak mampu membelikan aku sarapan yang baik telah menyelimuti hatinya. Usahanya berhutang beras agar bisa memasak nasi dan memberi aku sarapan tajin  ternyata tak ada gunanya. Semuanya sia – sia karena anak yang sangat dicintainya diejek teman – teman sekelasnya.
” Mboh sudahlah jangan sedih lagi. Besok Mbok tidak usah repot – repot siapkan nasi dan tajin lagi. Biar saya tidak sarapan lagi seperti biasanya.” Aku lalu bergegas pergi ke kamar meninggalkan Mbok yang masih duduk termenung.
Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah seperti biasanya. Aku tidak sarapan lagi seperti hari – hari sebelumnya. Sesampainya di kelas, suasana masih sunyi. Namun selang beberapa lama kemudian teman – temanku dan Bu Anita sudah masuk ke kelas. Kami semua siap belajar biologi. Bu Anita kali ini memulai pelaran dengan tanya jawab.
” Anak – anak sudah sarapan pagi ini?” tanya Bu Anita.
” Sudah Bu!” jawab teman-temanku serempak, kecuali aku.
” Anak – anak sarapan apa pagi ini?” Bu Anita bertanya kembali.
” Nasi goreng telur Bu!”
” Susu dan mie instan Bu!”
” Aku sarapan nasi dan daging sapi impor!” teman-temanku menyeletuk.
” Ratmi kamu sarapan apa pagi ini?Ibu lihat kamu diam saja dari tadi.”
” Em....” aku bingung
” Ah paling Ratmi paling sarapan makanan purba, kalau tidak salah namanya tajin,” Jeni mengejek.
” Jeni, jangan berbicara seperti itu dengan temanmu sendiri. Ibu tidak suka kalau murid – murid Ibu berkata seperti itu.” Bu Anita sedikit marah kepada Jeni. Beliau lalu ke depan kelas.
” Nah anak – anak dari hasil diskusi tadi, ibu lihat ada yang sarapan menggunakan nasi, mie, roti, dsb. Coba siapa yang tahu, kira – kira makanan tersebut termasuk golongan apa?”
” Makanan lunak Bu!” jawab Tito.
Coba Tito jelaskan mengapa menyebut nasi, roti dsb sebagai makanan lunak?” Bu Anita bertanya.
” Empuk Bu!” teman Tito membantu.
” Coba ada jawaban lain?” Bu Anita kembali bertanya.
” Karbohidrat Bu,” Mayang menjawab.
” Bagus, tepat sekali Mayang,”
” Nasi, roti, mie, umbi – umbian merupakan makanan yang banyak mengandung karbohidrat. Karbohiodrat adalah zat makanan yang penting bagi tubuh kita. Sarapan dengan karbohidrat akan memberi sumbangan energi yang besar bagi tubuh kita,” Bu Anita menjelaskan.
” Ibu tertarik dengan menu sarapan Ratmi, tajin. Tajin tidak kalah hebatnya dengan makanan lain, tajin memilki kandungan karboidrat yanbg tinggi pula. Apalagi ditambah taburan gula jawa akan membuat kandungan enrgi akan semakin besar.”
Teman – temanku terkesima mendengar penjelasan Bu Anita. Aku sendiri juga tidak terlepas dari rasa kaget. Tajin yang kemarin menjadi bahan olok –olokan teman – teman, sekarang justru dipuji oleh Bu Anita. Hatiku yang sejak kemarin tertutup mendung kesedihan, tiba – tiba seolah mendapat sinar mentari yang memberi kebahagiaan. Aku senang sekali dan todak sabar ingin mengabarkan berita gembira ini kepada Simbok.
”Tet..tett...”
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku langsung bergegas keluar kelas, namun tiba – tiba bahuku ditahan.
” Ratmi, maaf ya kami sudah mengejek kamu dan menu sarapanmu,” ucap Jeni sambil memegang bahuku.
” Iya Ratmi, kami telah salah dalam menilai tajinmu. Aku sekarang tidak akan mengejek kamu dan juga tajinmu. Aku justru ingin mencoba sarapan tajin, ucap Cika sambil tersenyum.”
Aku sungguh terharu. Aku langsung menarik mereka dalam pelukanku. Tak terasa air mataku berderai, tenggelam bersama pelukan teman – teman.
Sekalipun berat melepas pelukan teman- teman, namun aku harus segera pulang. Aku harus segera menemui Simbok. Sambil berlari kecil aku senyum – senyum sendirian. Sesampainya di rumah aku langsung mencari Simbok.
” Mbok..mbok!”
” Iya Ratmi ada apa?” jawab Simbok dari ladang di belakang rumah.
Aku berbegas menuju sumber suara Simbok yaitu ladang di belakang rumah. Tak terelakkan lagi ketika aku sudah bertemu Simbok, aku langsung memeluknya.
” Simbok maafkan Ratmi sudah membuatmu sedih. Ratmi nakal tadi pagi tidak mau sarapan tajin. Padahal tadi di kelas bu guru menjelaskan kalau tajin itu tidak kalah hebat manfaatnya dengan makanan – makanan mahal yang lain, ” jelasku sambil menangis tersedu.
” Syukurlah Nduk4, Simbok ikut senang.”
” Iya Mbok, bahkan teman – teman yang kemarin mengejek Ratmi, tadi sudah minta maaf.”
” Iya Nduk, tidak malu lagi sarapan tajin kan?” Simbok meledek.
”Tentu, ” jawabku sambil tersenyum.
Kamipun berpelukan kembali.
~~~☺~~~


Gunungkidul , 2010





Saturday, December 4, 2010

Malam Minggu

Seindah hujan di balik mendung nan hitam. Sehangat jiwa yang dikelilingi orang tercinta di malam minggu yang dingin. Seperti malam-malam sebelumnya, malam minggu adalah malam berkumpul bersama keluarga, terutama bunda. Satu malam penuh kebersamaan setelah lima hari sebelumnya merantau ke Jogja.

Siang harinya, saya main ke rumah Mbah Nomo di Silingi. Rumah gubuk sederhana tempat saya dilahirkan. Rumah penuh kenangan dan dunia tempat saya dibesarkan hingga usia 15 tahun. Kini, rumah itu dihuni bude dan pakde. Tak lupa saya mampir ke rumah Mbah Prawit, menanyakan apakah beliau sudah pulang dari Jogja ataukah belum. Maklum tadinya mau mengajak saya bareng pulang dari Jogja.

Tahun-tahun lalu, malam minggu biasanya saya ngaji Risma keliling., nginap di skul karena ada kegitana, dan terkadang juga diapeli teman.Hehe... Sekarang, anggota Risma sudah merantau meninggalkan kampung halaman. Saya sendirian, malu mau gabung kegiatan yang sekarang. Malu bertemu Mas Doni,. Atukah bukan malu tapi malas....sedangkan kegiatan skul, sudah lama tak mengikutinya. Kenangan semasa SMA yang indah..Kini saya benar-benar off kegiatan skul dan kampus. Bunda melarang saya dan mungkin memang seharusnya saya sekarang benar-benar menghabiskan waktu ini bersama keluarga untuk membayar waktu - waktu sebelumnya, yang telah pergi.

Saya coba memberanikan diri untuk datang ngaji malam minggu ini. Namun ternyata tidak ada pengajian malam ini. Saya akhirnya di rumah, menemani ibu yang sedang belajar untuk menghadapi ujian esok pagi. Tak lama kemudian, Bulek Endang, Bulek Yanti dan Dek Fifi datang. Saya tentunya senang ada anak kecil. Langsung saya gendong, saya ajak main. Mula-mula saya ajak Dek Fifi mainan api di dapur. Lalu saya ajak mainan gamelan. Dek Fifi seneng sekali, dia mukul-mukul gong, gendang, saron, dan juga bonang.

Dek Fifi kemudian saya ajak mainan di rumah. Semula Dek Fifi mainan buku, namun ketika kucingku datang, dia langsung tertarik dan bermain dengan kucing itu. Saya pun ikut main-main dengan si kucing^_^




 Pukul setengah delapan malam, Dek Fifi pulang. Seiring kepulangan mereka, gantian para niaga datang untuk latihan gamel malam itu. Saya dan ibu lalu siap-siap karena adala latihan gamel malam itu. Saya nggodok wedang dan ibu menggoreng  jadah. Alhamdullilah minuman dan makanan seadanya sudah siap dihidangkan. Ibu kemudian melanjutkan belajarnya sedangkan saya ngerjain tugas laporan praktikum.

Happy time..

Thursday, December 2, 2010

Hari yang Indah

Alhamdullilah atas segala nikmat yang tlah Engkau beri
  • Pagi yang indah dan sarapan yang enak bersama Mas DP
  • Menjelang siang yang indah bersama Sina di Ortindo.
  • Siang yang cerah, jalan-jalan bersama Dek Cica, Dek Memei, Sania, Mbak Dewi, Mbak Novi + ditraktir es krim, rasa vanila coklat pula.
  • Menjelang sore yang indah bersama Ms Koko walau hanya via telpon.Alhmdlh keadaanya semakin membaik.
  • Sore yang penuh tawa bersama Oktri yang jenaka. Sampai dia manjat-manjat pohon di depan kos.
  • Sore yang indah bersama Dek Mutia, mas Abi, Sina di emperan kos.
  • Menjelang malam yang indah, ditelpon bunda.
  • Malam yang indah di warnet meski akhirnya laptop error dan pulang sendirian malam-malam.
  • Menjelang tidur yang indah bersama teman lama (brahim dan setyabudi).
Thanks all...