Wednesday, March 23, 2011

Tamasya ke Poli Bedah Rs Sardjito Part I

Jumat pagi, hari yang indah di semester ini (bisa buat malas-malasan gitu deh…kan tidak ada kuliah)
Namun ternyata aku tidak boleh malas-malasan di Jumat pagi ini.  Aku akan mengantar Tian ke rumah sakit. Sembilan hari yang lalu dia habis menjalani operasi keloid, sejenis pengangkatan daging tumbuh. Kini saatnya jahitan bekas operasi tersebut dibuka.
Pukul 06.40 aku berangkat menuju kost Tian. Sepuluh menit kemudian kami berdua berangkat ke Rumah Sakit Sardjito. Alhmadullillah tak sampai 20 menit, kami sampai di sana. Wuih…parkiran motor sudah penuh, agak susah juga mencari tempat yang kosong. Hehe…kami mendapat pertolongan mas-mas tukang parkir. Urusan parkir selesai, kami lalu berjalan menuju tempat pendaftaran dengan menggunakan ASKES.
“Gile Cahayak, kok udah banyak banget orang di sini” kata Tian temanku.
Sambil mendengarkan keluhannya, aku lalu mengajaknya ke bagian pendaftaran. Hihi…Tian dapat nomor antri 187. Dia tambah syokkk… Kami lalu mencari tempat duduk untuk menunggu antrian. Sepuluh menit menunggu, petugas pendaftaran belum memulai memanggil nomor antrian. Setengah jam menunggu, petugas baru mulai memanggil nomor antrian. Satu jam menunggu, baru sampai antrian no 30. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari sarapan dulu. Makanan di pinggir jalan Rs Sardjito menjadi sasarannya. Tian makan nasi dan diriku makan roti. Sebelum berangkat saya sudah sarapan di kost, jadi masih kenyang. Lalu Tian memaksaku membelikanku roti untuk mengganti sarapanku. Makasih ya Tian…
Alhamdullillah kenyang….
Kami kembali ke ruang pendaftaran. Wuiss, masih nomor antrian 100. Berarti masih 87 orang lagi. Sabar..saat itu pasti datang^_^ Dan benar saja setelah 2 jam menunggu, tepatnya pada pukul 10.05 penantian antrian nomor 187 benar-benar datang. Nama Tian dipanggil oleh petugas pendaftaran. Tapi sayang masih ada rangkaian perjalanan yang lain. Kami harus antri membayar kartu pasien di loket bank. Setelah itu kami lalu menuju poli bedah untuk menjalani pemeriksaan. Kami sempat tersesat di jalan^_^
Poli bedah merupakan salah satu dari banyak poli yang disediakan di rumah sakit ini. Poli yang lain di antaranya poli kulit, THT, kandungan, jantung, penyakit dalam, dsb. Kebetulan untuk kasus Tian, dia masuk di bawah penanganan poli bedah. Setelah mengurus admisnistrasi di poli ini, kami disuruh menunggu di depan kamar bedah umum. Nah ketika menunggu di depan kamar bedah, Tian mulai panik.
 “Haduh Cahayak, aku takut nih…”
“Cahayak nanti sakit tidak ya??”
Dengan berlagak bijaksana dan keibuan, aku berusaha menenangkan Tian.
“Jangan takut Tian, tidak sakit kok, kan nanti dibius,” hiburku…
(dalam hati malu juga kalau ingat aku jaman dulu pas sakit terus mau diambil darahnya aja nangis njerit-njerit, sampai dipegangi 3 perawat, sampai tangan perawatnya aku gigit lho..hihi)
Untungnya kegugupan Tian bisa terkendali. Karena aku berhasil menghiburnya??? SALAH….Dia sudah tidak gugup karena perhatiannya teralihkan oleh dokter-dokter muda nan ganteng yang sliwar-sliwer di depan kami.Hehe…
 “Ya ampun Cahayak, dokter yang itu cakep bangett. Eh yang itu juga cakep..yang itu juga…bla..bla..bla…”
Aku tertawa sendiri melihat tingkah lucu Tian. Tian memang termasuk ke dalam juara 3 besar anak paling lucu di kelas bersama Oktri dan Tika. Baguslah.....Tian sudah tidak takut lagi. Tak lama kemudian, nama Tian dipanggil ke dalam ruangan. Aku ikut masuk menemaninya..
Apa yang dikeluhkan Mbak?,” tanya dokter misterius itu (maklum pake masker tidak keliatan mukanya)
“Ini Dok, saya mau buka jahitan bekas operasi keloid.”
“Coba saya cek dulu,” kata dokter itu sambil mempersilahkan kami masuk ke kamar penanganan pasien.
Dokter itu lalu memeriksa bekas luka jahitan Tian. Saya juga baru liat luka Tian pada saat itu juga. Sungguh ngeri melihatnya, jahitannya cukup panjang..Tiba – tiba seorang dokter yang lebih tua atau mungkin perawat datang ikut melihat. “Wah ini sudah bisa diambil jahitannya,” kata beliau. Dokter yang satu hanya diam saja.
Kami lalu dipersilahkan duduk kembali di ruang periksa. Dokter itu lalu bertanya-tanya lagi kepada Tian tentang lukanya; kapan operasinya, operasi di mana, siapa yang mengoperasi, kapan harus buka jahitan, dll. Dokter itu belum bisa memutuskan bisa dibuka jahitannya atau belum. Dokter itu kelihatan bingung, hehe…Dokter itu lalu menelepon temannya dan menanyakan hal itu. Akhirnya didapat jawaban kalau jahitannya belum bisa dibuka, masih harus menunggu sampai kering. Kamipun pulang dengan lesu…hiks..hiks…









Emas Hidup di Pasir

            “ Kurang ajar!,” bentak Robert sambil menggebrak meja di depannya.

” Sudahlah Robert jangan marah-marah terus, aku sudah bosan

mendengar amarahmu,” ucap Toni.

“ Jadi kamu mau menentangku ya!!! Kamu mau membela anak tukang

rongsok itu ya!!!,” bentak Robert semakin keras.

“ Bukan begitu, mana mungkin aku membela Budi sialan itu.Jangan asal

nroscos donk, ini semua demi kebaikan kita,” Toni membela diri.

“ Kebaikan – kebaikan, jangan sok cari- cari alasan.”

“ Dengarkan aku, kamu tidak boleh marah – marah. Daripada marah – marah

lebih baik kita menyusun rencana untuk memberi pelajaran pada Budi anak tukang sampah itu.”

            “ Apa ??,” tanya Robert dengan nada yang lebih rendah.

            “ Ya, daripada marah – marah lebih baik kamu segera memikirkan cara untuk memberi pelajaran pada Budi”.

            “ Baik, aku terima nasehatmu.Ayo kita segera susun rencana,” sahut Robert.

            “ Tapi kita bicarakan masalah ini di tempat lain saja. Bisa ada yang menguping rencana besar ita kalau kita membicarakannya di kelas ini.”

            “ Kita ke kantin sekolah saja,” ajak Robert. Toni menerima ajakan Robert dengan anggukan kepala.

            Itulah dua preman di SMA 1 Tatama, Robert dan Toni. Keduanya tidak pernah bosan untuk membuat keributan. Mereka sangat sombong dan selalu memamerkan hartanya. Padahal harta yang mereka miliki hanyalah pemberian orang tuanya.

Lain halnya dengan Budi. Dia adalah anak yang baik, pandai, dan sangat anti keributan. Walaupun dia hanya anak tukang sampah, tapi hal itu tidak memenjarakan dirinya untuk bebas mencari ilmu.Maka tak heran jika dia selalu menjadi bintang sekolah.Kedisiplin, keuletan, dan kerja kerasnya membawa Budi pada suatu hal yang membuat bangga sekaligus membimbangkan hatinya.

“ Selamat ya Bud,”  ucap Dani.

“ Majukan sekolah ini, aku percaya kamu pasti bisa!” ucap Tiano.

“ Wah Pak Ketua OSIS...jangan lupakan kita,” Warda tak ketinggalan memberi ucapan selamat kepada Budi.

Teman – teman yang lain juga bergantian mengucapkan selamat kepada Budi yang baru saja terpilih menjadi ketua OSIS. Dia menang mutlak dalam pemilihan Ketua OSIS SMA 1 Tatama dan mengalahkan Robert sang anak jutawan.

“ Terimakasih teman – teman, saya bisa menjadi seperti ini karena dukungan teman – teman semua.Saya akan berusaha sebaik – baiknya untuk memajukan sekolah ini,” Budi menanggapi.

“ Traktir kita donk!!!!” pinta teman – teman.

Dalam hati Budi sudah dipenuhi bertumpuk – tumpuk masalah yang membimbangkannya.

“ Bagaimana aku harus memenuhi permintaan teman- teman.Mana mungkin  aku bisa mengajak mereka makan bakso ataupun soto.Untuk makan sehari, uang pendapatan bapak dan ibu mencari rongsokan saja tidak cukup.Apalagi membelikan teman – teman bermangkok – mangkok bakso.Sungguh hal yang tidak mungkin.Mereka pikir aku sangat suka mendapatkan jabatan menjadi Ketua OSIS di sekolah yang berkelas ini. Mereka tidak memikirkan tanggung jawab seorang Ketua OSIS yang amat berat.Tapi bagaimanapun juga nasi sudah menjadi bubur.Mereka sudah mempercayakan jabatan Ketua OSIS kepadaku .Yang terpenting, aku sekarang harus menjalani semua ini dengan sebaik-baiknya.Anggap saja ini adalah ibadah.”

“ Hai!!,” bentak Warda.            

“ Warda, apa yang terjadi?” Budi terkejut.

“ Tidak ada apa-apa.Aku hanya menkhawatirkan kamu yang melamun dari tadi.Padahal teman-teman lain baru asyik membicarakan terpilihnya kamu menjadi ketua OSIS.”

“ Iya, apa kamu baru ada masalah?” tambah Rama.

“ Oh maaf teman – teman, saya tidak ada masalah kok.Saya cuma, cuma..”

“ Cuma apa?” Endar menyahut.

“ Iya Bud, jujur saja sama kami,” Tiano tak mau kalah.

“ Begini teman-teman, saya tidak punya cukup uang untuk mengajak kalian makan.Kalian tahu kan, untuk makan sehari saja kami masih kesulitan dan..”

“ Wah maaf kami hanya bercanda.Tentunya kami semua tahu kesulitan keluargamu.Malah kami yang akan mengundang kamu beserta keluargamu untuk datang ke rumahku nanti malam.Papa dan mama baru saja pulang dari naik haji, dan kami akan mengadakan syukuran,”  Rama menyela pembicaraan Budi.

“ Benarkah??Terimakasih teman atas semua kebaikanmu.”

“ Santai saja Bud, katamu sesama teman harus saling membantu.”

“ Iya.Sekali lagi  terimakasih teman. Lihat Bu Netty sudah datang, ayo segera masuk ke kelas.”

Budi dan teman –temannya segera masuk kelas.Beberapa saat kemudian bel tanda pulang sekolah berbunyi.Anak- anak berhamburan ke luar ruangan.Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, jadi anak – anak bersemangat sekali untuk pulang ke rumahnya masing – masing. Tentunya mereka ingin menikmati akhir pekannya.Tak

terkecuali Budi.dia juga sangat senang menyambut akhir pekan ini. Dia baru saja terpilih menjadi Ketua OSIS. Malam ini, dia dan keluarganya juga diundang ke pesta syukuran orang tua Rama.Tak heran jika malam itu muncul kesibukan di rumah Budi yang sederhana.

            “ Mbok, Budi pantas tidak memakai pakaian ini?” tanya Budi sambil berdiri di depan kaca lemarinya yang sudah tua.

            “ Budi kamu sudah pantas memakai pakaian itu, sekarang gantian simbok yang bingung.Simbok tidak punya pakaian yang bagus.”

            “ Bapakmu ini juga tidak punya pakaian yang pantas di pakai untuk pergi ke pesta Nak. Daripada bapak simbokmu ditertawakan, lebih baik kamu saja yang pergi ke pesta syukuran orang tua Rama, ” ucap Pak Topo.

            “ Bapak dan simbok ini bagaimana?Kalau ngomong soal pakaian, bukankah pakaian Budi juga cuma seperti ini.Ayolah kita pergi ke pesta, kasihan Rama yang sudah mengundang kita.Asalkan pakaian kita sudah bersih dan sopan, itu sudah cukup.Tapi kalau bapak dan simbok masih tidak berkenan, juga tidak apa – apa.Nanti Budi sendiri yang akan berangkat.”

            “ Ya sudah Budi, bapak dan simbok akan pergi ke pesta.Tapi kamu jangan malu ya,” simbok menanggapi.

            “ Mengapa harus malu, justru orang tua harus kita hormati.”

            Dengan penampilan sederhana, akhirnya Budi dan orang tuanya berangkat ke pesta syukuran keluarga Rama.Mereka pergi ke rumah Rama hanya berjalan kaki. Setibanya di tempat pesta, orang tua Rama beserta teman – teman yang lain menyambut hangat kehadiran Budi dan orang tuanya. Tetapi ada juga yang menyambut dengan muka masam.Mereka adalah Robert, Toni dan teman – temannya.

            “ Eh lihat, rombongan sampah sudah datang!”

            “ Benar Robert, jangan – jangan makanan di sini jadi bau sampah semua,” Toni tak mau ketinggalan.

            “ Bagaimana kalau saat ini anak tukang sampah itu kita beri pelajaran?”

            “ Wah jangan ngawur Bert, kita sekarang di rumah orang,” Roy agak bimbang menerima ajakan Robert.

            “ Dasar tolol!Justru karena sekarang ada di rumah orang dan banyak tamu yang datang kita harus memberi pelajaran pada dia.”

            “ Lalu bagaimana kita memberi pelajaran pada dia?”

            “ Sini kuberi tahu.”

            Robert dan teman – temannya menyusun rencana untuk mencelakakan Budi. Sementara itu, di ruang tengah acara syukuran sudah dimulai.

            “ Memasuki acara yang ke – 5 yaitu hadirin dipersilakan menyicipi makanan seadannya,” ucap seorang pembawa acara berjilbab biru.

            Orang tua Budi mengobrol bersama orang tua Rama. Sedangkan Budi dan teman – teman mengambil makanan dan minuman. Ketika Budi akan mengambil minuman, tiba – tiba datang Robert yang menawarkan minuman.

            “ Budi, ini aku ambilkan minum,” ucap Robert sambil menyodorkan minuman.

            Budi agak curiga melihat tingkah laku Robert. Tidak biasanya robert bertingkah laku semanis itu.

            “ Baiklah, tapi aku ambil minuman yang ada di tangan kirimu saja.Minuman yang kamu sodorkan ini lebih baik untukmu saja.”

            Robert menyodorkan minuman yang ada di tanga kirinya dengan perasaan kecewa.Dia gagal meracuni Budi. Dia dan teman – temannya menyusun rencana lain.

Mereka mengganti saos yang diambil Budi menggunakan cat kayu.Tapi, Budi memang cerdik. Tentunya dia dapat membedakan saos dan cat.Robert dan teman – temannya sangat kesal. Robert dan teman – temannya menghampiri Budi.

            “ He anak tukang sampah kenapa kamu tidak mau makan saos itu!!!” ucap Toni.

            “ Makan saja sendiri, aku masih manusia normal. Aku tidak mau makan cat.”

            “ Kamu mau melawan ya,” Robert membentak.

            “ He Budi, mengapa kamu bisa tau segala hal yang kami lakukan untuk mencelakaimu?Pasti kamu memakai jimat ya!!!!!” Toni menuduh Budi.

            Sejenak Budi berpikir dan akhirnya muncul gagasan di benaknya.

            “ Ya, aku mempunyai rahasia agar aku bisa mengetahui rencana busuk kalian.”

            “ Apa rahasia itu??Cepat beritahu kami!”

            “ Carilah ikan emas yang hidup di pasir. Kemudian makanlah ikan emas itu,” Budi berkata dengan santai. Kemudian dia meninggalkan Robert dan teman – temannya.

            Berbulan – bulan Robert dan teman – temannya mencari ikan itu ke berbagai tempat, tapi tidak mereka temukan juga.

            “ Budi kamu bohong ya! Kami sudah mencarinya ke mana – mana, tapi tidak kutemukan ikan emas sialan itu,” Toni marah – marah.

            Budi tidak berbicara, dia hanya tersenyum.

            “ Jangan tersenyum!Cepat tunjukkan di mana ikan itu,” Robert hilang kesabarannya.

            “ Ikan emas itu ada di dalam otak kalian,” Budi menjawab.

            “ Maksud kamu ?” Roy penasaran.

            “ Kalian pikir donk!Mana mungkin ikan yang bernafas menggunakan insang dapat hidup di dalam pasir. Jadi agar dapat mengantisipasi masalah rahasianya ada di dalam otak kalian masing – masing. Dan keberhasilan itu bergantung pada kemauan kalian semua untuk belajar dan memanfaatkan anugerah yang ada.Kadang anugerah yang telah diberikan, sering kita salah gunakan untuk menindas orang lain. Robert, Toni, dan teman – teman lain, aku yakin kalian bisa menjadi orang yang berguna, pandai, dan disegani siswa lain bila kalian mau memanfaatkan anugerah yang telah ada.Seperti sang ikan yang memanfaatkan insangnya, ” Budi memberi penjelasan panjang lebar.

            Robert dan teman – temannya agak malu. Mereka sadar akan kesalahan mereka selama ini.Disaksikan berpasang – pasang mata dan berjuta – juta bintang nan jauh disana, akhirnya jabat tangan perdamaian yang ditunggu – tunggu datang juga.***



                                               




























Kembalilah Gemak

Kurebahkan tubuhku di atas pembaringan kayu yang diam membisu di sudut kamarku. Terasa kenikmatan mengaliri tubuhku. Begitu banyak aktivitas yang telah kulalui hari ini. Sekarang kubisa mengobati letihku dengan merebahkan tubuhku menuju alam mimpi. Akupun mulai memejamkan dua bola kecil yang bertengger di wajahku. Namun baru sejenak kupejamkan, ponselku berdering tanda seseorang memanggil. Hatiku bertanya – tanya, siapa gerangan yang meneleponku larut malam begini ? Bergegas aku bangun mengambil ponsel kesayanganku ( ya ini benar – benar ponsel kesayanganku karena untuk mendapatkannya, aku harus menyisihkan uang sakuku ). Akupun menjawab panggilan itu.
          “ Assalamualaikum...”
          “ Waalaikumsalam..”
          “ Sinten nggih ?” ¹
          “ Niki Jaya, si manuk Gemak sing mbeling.” ²
          “ O..Si Gemak, wonten menapa?” ³
          “ Em...Aku habis kecelakaan..”, Gemak menjawabnya dengan bahasa Indonesia.
          “ Kecelakaan?Bagaimana ceritanya?”
“ Kemarin, tanpa sengaja aku menabrak tetanggaku sendiri sampai..sampai...
“ Sampai apa?”, tanyaku.
“ Sampai meninggal”, jawab Gemak dengan lesu.
“ Apa???”
“ Ya begitulah dan sekarang tangan kananku patah.”
“ Astagfirullah......”
“ Aku takut sekali, bayangan tentang kejadian itu selalu membayangiku, belum lagi rasa sakit yang menusuk – nusuk tanganku.”
“ Baiklah aku turut prihatin atas kejadian yang menimpamu. Lebih baik kamu istirahat dulu, sekarang sudah larut malam dan jangan lupa berdoa” , jawabku sambil dihantui rasa bimbang.
“ Terimakasih ya, aku sedikit lega bisa berbagi cerita denganmu.”
“ Wassalamualaikum...” , ucap Gemak mengakhiri pembicaraannya.
“Waalaikumsalam...” , aku membalas salamnya.
Kututup ponselku dan aku kembali menuju tempat tidurku. Kurebahkan tubuhku yang sudah letih ini. Namun mataku belum terpejam. Pikiranku masih menerawang jauh menuju pembicaraanku dengan Gemak barusan tadi. Sungguh aku sangat terkejut. Gemak temanku sejak SMP menabrak orang sampai meninggal? Tangan Gemak patah?
Lambat laun akupun terlelap.....
Esok harinya aku menjalankan aktivitasku seperti biasa. Kebetulan hari ini ada kegitan ekstrakurikuler sehingga menjadi penghalang untuk menjenguk Gemak. Hari – hari berikutnya aku juga belum sempat menjenguk Gemak. Setelah 4 hari kemudian, aku bersama teman – teman SMPku baru bisa menjenguk Gemak. Dia terbaring lemah. Mungkin dia masih terbebani oleh ketakutan dan kesakitan. Tak banyak yang kuperbincangkan. Hanya beberapa kalimat yang terucap, dan itupun terasa sumbang. Setelah dirasa cukup aku undur diri.
Perjalanan pulang, hatiku dikelilingi perasaan yang tidak menentu. Bagaimana tidak, ketika aku menjenguk Gemak, banyak tetangganya yang mengatakan bahwa Gemak kecelakaan karena dia kebut – kebutan di jalan. Benarkah begitu? Gemak memang agak nakal tapi apakah sampai sejauh itu? Hanya Dia & Gemak yang tahu.
Gemak jika kau membaca goresan penaku ini, aku ingin kau bisa kembali seperti yang dulu... Seorang bocah yang rajin memelihara burung gemak lalu menjualnya untuk kebutuhan sekolah..

Saturday, March 12, 2011

PETUALANGAN DI TELINGA

           Dug..Masih teringat jelas kejadian kemarin sore. Sebuah tendangan keras kapten kesebelasan bernomor punggung delapan, membuat bola itu singgah di kepala ayah. Sekarang hanya pening yang masih tersisa. Aku bisa mendengar teriakan protes sel – sel yang rusak akibat benturan bola. Kepala ayah yang ditumbuhi rambut hitam keputihan terasa berdenyut, telinga ayah yang bersih tanpa tindikan terasa sakit pula. Seperti ada gaya yang menyedot, tiba – tiba tubuhku mengecil sampai sebesar pasir yang berserakan di depan rumah. Aku terbang dan masuk ke dalam terowongan yang begitu besar. Aku masuk ke dalam telinga ayahku. Aku melewati terowongan gelap. Lantai yang aku tapaki begitu licin, mungkin lendir dalam telinga.  Terkadang kakiku tersandung bola – bola hitam sebesar bola sepak.
“Apakah yang kutemui sekarang ini adalah bola yang dulu mengenai ayah?”, tanya hatiku.
Namun, pertanyaan itu segera terjawab. Bola – bola hitam yang kutemui saat ini adalah kotoran telinga. Kutinggalkan bola – bola hitam. Aku meneruskan perjalanan sunyi dan gelap ini. Kuterus berjalan entah ke mana. Ya, aku berjalan tanpa tujuan. Ada yang memaksa hatiku, membawa dua kaki melangkah tertatih – tatih. Sepertinya ada gravitasi yang menarik tubuh secara perlahan. Entah itu gravitasi apa. Yang jelas bukan gravitasi surya ataupun gravitasi bumi.
Beberapa saat berjalan, tubuhku terhuyung – huyung karena lendir licin yang mengalir di sepanjang terowongan. Aku tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh. Grubyakkk....Aku terjatuh. Tersungkur di jalan terowongan yang menurun. Belum sempat berdiri, aku  meluncur menuruni terowongan bagai anak TK yang bermain pelorotan. Di ujung terowongan yang menurun, tubuhku terhenti. Aku berusaha berdiri sambil mengipas – ngipaskan tanganku yan penuh lendir. Lalu kupandangai sebuah lembah yang terlukis jelas di depan pelupuk mataku. Hadir sebuah lembah yang dipenuhi rumput nan hijau. Sebuah matahari kecil tampak malu – malu bersembunyi di antara serombongan awan. Aku berputar memandang sekelilingku. Hampir setengah putaran, aku menghentikan gerakanku. Kulihat wanita bermata sayu di ujung padang rumput. Aku berlari ke arahnya. Semakin dekat, semakin kuyakini bahwa yang kulihat adalah ibu.
“ Ibu, apa yang kau lakukan?”
“ Lihatlah Nak, Ibu sedang menanam pohon di padang ini?”
Aku memandangi pohon yang ditanam ibu. Pohon kecil berdaun hijau yang tingginya kurang lebih 40 cm. Tangan ibu yang mulai keriput dengan cekatan menggali lubang untuk menanam pohon itu. Lalu ibu menenam pohon itu. Tidak! Ibu menanam pohon dengan posisi ujung batang di bagian bawah dan akar di bagaian atas.
“ Tapi Ibu....,” belum sempat menyelesaikan pertanyaanku, ibu berlari meninggalkanku.
Berkali – kali aku memanggil ibu. Tapi ibu tidak menoleh. Bayangan ibu semakin menjauh . Aku berlari mengejar ibu. Aku melewati hamparan padang rumput, jalan setapak nan berbatu, dan memasuki terowongan lagi. Kali ini jalan terowongan menanjak. Tidak kujumpai lendir ataupun bola – bola hitam di sepanjang jalan. Yang kujumpai hanyalah dinding – dinding terowongan yang elastis dengan udara lembabnya.
Aku tidak lagi melihat ibu. Bayangannya tertelan di persimpangan jalan. Namun, sayup – sayup kudengar suara ibu melantunkan tembang Jawa. Aku mencari sumber suara ibu. Kelak – kelok terowongan kulalaui. Akhirnya aku menemukan ibu sedang mandi di sebuah sungai. Sungai dengan air yang berwarna merah darah. Airnya mengalir dari bawah ke atas. Tidak kujumpai ikan, udang, ataupun kura – kura di sungai ini. Yang kujumpai justru ayam – ayam yang berenang riang.
            “ Ibu, ayo ikut aku tinggalkan tempat ini!”
            Ibu hanya tersenyum kemudian melanjutkan melantunkan tembang jawa sambil berendam di sungai.
            “ Ibu, ayo keluar. Ayah menunggu kita.”
            Entah bagaimana caranya, tiba – tiba ibu berada di sampingku dan menggandeng tangan kananku. Aneh, tangan ibu tidak basah. Tangan ibu terasa hangat. Aku merasa damai digandeng ibu. Tiba – tiba sungai di depanku berubah menjadi padang rumput. Sangat mirip dengan padang rumput yang kujumpai tadi. Namun tidak kujumpai lagi matahari kecil yang bersembunyi di balik segerombolan awan. Yang kujumpai sekarang adalah salju hangat yang turun dari langit. Salju berwarna – warni yang menaburi hati kami. Kuambil segenggam salju yang sudah mengubah padang rumput nan hijau menjadi padang rumput yang warna – warni. Setelah aku mengambil salju, ibu menarik tanganku menuju terowongan yang gerbangnya mulai menutup. Aku dan ibu berhasil memasuki terowongan. Kami meluncur, menuruni terowongan yang licin. Lalu mendaki, berbelok, berputar, meluncur lagi dan akhirnya kami terlempar dari telinga ayah.
Kami lalu duduk di tepi stadion. Kulihat orang – orang di sekitar tidak merasa curiga terhadap kami. Perasaan takut, kaget, senang dan heran yang masih menghinggapi pikiranku, berusaha aku hilangkan. Peluh yang menetes di pundak, aku usap dengan sapu tangan yang diulurkan ibu.
“ Din, kok baru nongol?Emang dari mana sih ?”, seorang teman bertanya padaku.
“ Iya, sudah mulai dari tadi lho!”, Iskha menambahkan.
Secara bersamaan, aku dan ibu menjawabnya dengan sebuah senyuman. Teman – teman tidak memperhatikan kami lagi. Perhatiannya lebih tersita oleh pertandingan sepak bola di hadapan mereka. Kami ikut memperhatikan apa yang mereka perhatikan. Aku melihat tangan ayah mengangkat sebuah kartu kecil berwarna kuning. Ayah menjadi wasit pada pertandingan itu. Syukurlah, rupanya sakit ayah sudah sembuh. Aku dan ibu saling berpandangan. Lalu tersungging senyum di bibir kami. Sungguh senja yang indah.

Suara Alam


Seorang gadis dengan rambut berkepang dua bersandar di pinggir jendela tua yang mulai rapuh dimakan rayap. Ia sibakkan lansai merah jambu yang terbentang di depannya. Pandangan matanya melayang dan akhirnya hinggap pada sebuah kuncup pohon yang tumbuh di seberang jalan. Kuncup pohon yang masih bersimbah air hujan pada malam itu, menimbulakan kesan dingin. Namun di mata gadis itu tak ada sinar redup karena kedinginan. Mata gadis itu bersinar terang dan terpancar suatu kehangatan.
            Tiba – tiba berat tubuhnya bagaikan tersedot oleh suatu mesin yang entah rimbanya. Berat tubuhnya menghilang. Tubuhnya terasa ringan. Ia terbang mengikuti pandangan matanya. Iapun hinggap di sebuah pohon. Gadis itu lalu menyandarkan tubuhnya pada sebuah dahan cemara yang ukurannya tidak melebihi pengaduk nasi. Ia ingin lari tapi kakinya seperti tertindih baru ribuan ton. Ia ingin berteriak namun mulutnya terkunci dengan kunci yang tak tampak. Ia ingin meloncat, tapi tidak bisa!! Iapun hanya terdiam dalam kepanikan.
            Belum hilang kepanikan sang gadis, dari seberang rawa muncul pohon akasia nan gagah. Diikuti debum langkah, ia berjalan mendekati sang gadis. Tak hanya itu, di belakang pohon itu muncul begitu banyak pohon yang juga berjalan menuju pohon di mana sang gadis hinggapi. Langit yang cerah tiba – tiba berganti menjadi gelap karena sinar bulan terhalang ribuan burung yang menari – nari di sana.
            “ Kalian siapa?” ajaib, sepatah kata keluar dari mulut sang gadis.
“ Dasar manusia!!!Kalian pura – pura tidak tahu kami?” pohon Akasia    menjawab dengan ketus.
            “ Saya tidak tahu kalian!!”
“ Kau tidak tahu kami padahal kau kuras kami setiap hari tanpa perasaan. Manusia sungguh sangat keterlaluan,” pohon Akasia menjawab lebih ketus.
            “ Apa maksud kalian?”, sang gadis tergagap.
            “ Kau lupa bahwa kau sudah menebang kami habis – habisan tanpa menggantinya? Kau juga lupa sudah membakar kami tanpa sisa?” pohon Jati gantian menjawab.
            “ Lihatlah kami kehilangan tempat tinggal. Kami tidak bisa berlindung dari panas atau hujan lagi,” Burung Elang menambahkan.
            “ Teman – teman kami juga hanyut bila hujan tiba,” tanah di bawah tiba – tiba ikut bersuara.
            “ Tapi aku tidak menebang kalian!”  sang gadis berteriak.
            “ Tidak,”..gadis berteriak dengan tenaga yang tersisa. Ia pun melayang bersama teriakannya.
            Itulah teriakan terakhir sang gadis bersama protes pohon – pohon, burung – burung, dan tanah. Sampai saat ini sang gadis tidak pernah berjumpa dengan mereka lagi. Yang ia jumpai saat ini adalah banjir dan tanah longsor yang saling unjuk kebolehan.

Dua Kaki


            “Roma cepat!” , teriak Isa.
            “ Iya sabar”, jawabku.
“ Kamu ini bagaimana? Katanya mau menjenguk Arif kok malah keluyuran” , tambah Faisal.
            “ Aku tidak keluyuran tapi dari kamar mandi” , aku membela diri.
“ Sudah, jangan ribut! Lebih baik kita sekarang siap – siap menuju rumah Arif”, Nurdin
menengahi.
            Kami berempat akhirnya berangkat ke rumah Arif. Sudah 1 minggu Arif tidak masuk sekolah karena sakit. Sore ini, kami pergi ke sana untuk menjenguknya. Untuk sampai di rumah Arif kami harus bertanya – tanya kepada warga dahulu. Karena di antara kami belum ada yang mengetahui rumah Arif. Ternyata niat baik ini mendapat kemudahan dariNya. Tanpa halangan yang berarti akhirnya kami sampai di rumah Arief.
            Rumah Arif begitu sederhana. Dindingnya berupa kayu dan bambu. Sedang atapnya berupa genteng yang sudah sangat hitam karena termakan usia. Namun suasana di sana begitu damai dan sejuk. Pohon mangga menjulang tinggi di samping rumahnya. Burung – burung kecil bertengger di atasnya.
“ Assalamualaikum.....Assalamualiakum”, ucap Isa berkali – kali. Namun tidak ada jawaban dari dalam rumah.
“ Assalamualaikum....” , Isa mencoba lagi.
Akhirnya ada jawaban dari dalam rumah Arif.
“ Waalaikumsalam.....”, ucap seoarang wanita muda sambil membukakan pintu.
Kami langsung terkejut ketika pintu rumah Arif dibuka. Seorang wanita muda berdiri dengan susah di ambang pintu. Pakaiannya lusuh dan dia hanya mempunyai satu kaki.Hanya satu kaki !!
            Kami dipersilahkan masuk. Nurdin mewakili memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan kami. Setelah memperkenalkan diri, wanita muda itu menanggapi kami dengan ramah. Ternyata dia adalah kakaknya Arif. Dia memberi tahu kami bahwa Arif sekarang di rawat di rumah sakit. Kakinya akan diamputasi karena terserang virus. Tubuh kami terasa lemas mendengar ini semua. Kami akhirnya pulang dengan perasaan sedih&kecewa.
            Di perjalanan, pikiranku melayang bagaikan burung yang dilepas dari sangkarnya. Apakah ini mimpi? Bayangan tentang tubuh kakak Arif yang hanya punya 1 kaki terus menemani perjalanan pulangku. Sementara informasi mengenai kaki Arif yang akan diamputasi mewarnai pikiranku. Pastilah apa yang aku rasakan sama dengan yang dirasakan teman – temanku yang lain.
            Kejadian tadi sungguh telah mengetuk hatiku yang telah terkunci rapat. Aku sekarang begitu merasakan nikmat yang Kau berikan. Setelah lama aku lupakan. Aku bersyukur masih dikaruniai dua kaki yang sempurna.
            Arif, aku hanya bisa menadahkan tangan meminta kesembuhan untuk dirimu.

Tuesday, March 1, 2011

Maafkan Kami Pak Dosen

Jam tangan merahku sudah menunjukkan pukul 14.55. Aku bergegas masuk ruang kuliah di lantai 3. Sesampainya di sana, sebagian besar teman-temanku sudah memenuhi ruangan. Tapi untungnya Pak Dosen belum datang. Akupun dengan lega memilih tempat duduk di bagian paling belakang ruangan…hihi…(biar bisa sambil baca novel gitu..)
Tak seberapa lama, Pak Dosen datang…Wah takut juga duduk paling belakang, nanti malah ditunjuk maju kedepan. Akhirnya aku dan teman-teman yang duduk di bagian belakang inisiatif maju ke barisan kedua dari depan. Biar aman gitu..hehe
Kukeluarkan buku dan materi yang sudah aku persiapkan beberapa hari sebelumnya untuk kuliah ini. Musyawarah sederhana juga sudah aku lakukan untuk membentuk kelompok. Daftar hadir bersampul biru diputar dan aku sudah tanda tangan kehadiran. Pak dosen masih duduk mempersiapkan segala sesuatu di meja dosen. Beliau mulai bicara, membuka kuliah sore ini…dan di sinilah awal kemarahan beliau..

“Ayo silahkan maju ke depan untuk mendiskusikan materi!” ucap beliau.
Kami semua hanya berbisik – bisik di belakang. Tidak ada yang berani maju ke depan. Kami hanya bertanya – tanya dalam benak kami, diskusi materi apa? Bagaimana? Kelompoknya siapa?dll
Gregetan dengan aksi diam kami, Pak Dosen bertanya lagi ;

“Kemarin sudah dibentuk kelompok bukan?Ayo sekarang maju diskusi!”
Tiba – tiba salah seorang temanku keceplosan ngomong, BELUM PAK!!!!

Gubrakk..jawaban temanku menaikkan pitam Pak Dosen.
“ Jadi kalian belum membuat kelompok?!?!?!!! Baiklah sekarang mari kita berdoa untuk mengakhiri kuliah ini!! Berdoa mulai…..selesai…

Pak Dosen lalu mengemasi barang-barangnya di atas meja. Beliau lalu meminta presensi yang baru diputar dengan kasar sambil bilang kita tidak perlu presensi lagi.

Deg…deg…. sebagian dari kami terdiam ketakutan, sebagian lagi menyalahkan temanku yang keceplosan berbicara, dan sebagian lainnya entah kutak tau ngomong apa. Aku sendiri terdiam ketakutan, sungguh hati ini langsung ciut kalau dimarahi….pengen nangis deh,…tapi kan malu masak nangis di kelas, nanti jadi tontonan teman-teman sekelas.
Kami lalu berunding bersama. Mencari jalan keluar agar Pak Dosen mau mengajar kuliah lagi. Namun sayang Pak Dosen sudah keburu pergi entah ke mana…. Kami mencari jalan lain…

Alhamdullillah berkat salah seorang temanku yang melobi, Pak Dosen mau mengajar kuliah lagi…^_^

Maafkan kami Pak Dosen….