Meski tidak terlihat banyak memelihara binatang, aku termasuk orang yang sayang terhadap binatang. Dulu waktu masih kecil, aku memelihara kucing. Kucing itu adalah pemberian dari tetanggaku. Aku lalu dengan senang hati merawat kucing itu. Kucingku tidak secantik kucing-kucing yang lain. Warnanya cukup abu-abu tua bergaris putih. Padahal saat itu aku ingin punya kucing berwarna putih. Namun bagaimanapun juga, aku tetap senang dengan kucing itu.
Kucingku tidak punya nama. Ya tentu saja karena aku tidak memberinya dia nama. Alasannya karena saya waktu itu belum tahu kalau kucing peliharaan itu butuh diberi nama. Hihi… Cukup aku memanggilnya kucing atau “meong” atau “pus”. Saat aku mengambilnya dari rumah tetangga, kucing itu masih kecil. Istilah bahasa jawanya, masih “cemeng” alias kucing kecil. Aku lalu membuatkan rumah kardus untuknya. Tak lupa aku memberikan baju bekas punya aku untuk selimutnya. Aku juga rela membagi makananku untuk si bayi kucing.
Waktu trus beranjak dan kucingku semakin besar. Kami berdua sudah menjadi sahabat akrab. Pagi hari ketika aku berangkat sekolah, dia mengantarkan aku hingga depan pintu rumah. Ketika aku pulang sekolah, dia menyambutku dengan ceria. Ketika aku main ke rumah tetangga atau pergi ke warung, dia akan mengikutiku berjalan di belakang. Ketika aku tidur, dia akan meringkuk di bawah kakiku.
Kebersamaan kami ternyata membuat orangtua saya cemas. Cemas kalau aku bisa sakit paru-paru karena bulu kucing. Cemas kalau aku tidak bisa bersosialisasi dengan teman lain karena selalu berdua dengan kucing. Cemas kalau aku terkena sakit rabies, dsb. Akhirnya orangtuaku memutuskan untuk membuang kucing itu. Malam harinya, ibu menitipkan kucing yang akan dibuang itu kepada mbahku. Kebetulan malam itu mbah akan mencari air “lep banyu” ke beton. Rencananya kucing itu akan dibuang di sana. Aku malam itu sudah tidur dan tentunya tidak tahu kejadian itu. Ya mungkin kucing itu dibuang di malam hari agar aku tidak tahu. Karena kalau aku tahu, pasti aku akan menangis.
Keesokan harinya, aku menyadari kalau kucingku tidak ada. Aku langsung nangis bahkan mogok berangkat sekolah. Tapi tak lama kemudian, aku mendengar suara kucingku. “Meong..meong”. Aku lalu berlari keluar rumah, dan ternyata itu benar kucingku. Kucingku ternyata sudah bisa menemukan jalan pulang ke rumah. Aku lalu berlari memeluknya. Akhirnya aku tidak jadi mogok sekolah. Aku langsung bersemangat mandi pagi dan berangkat ke sekolah.
Siangnya, lagi-lagi kucingku akan dibuang. Kali ini kejadian itu diperlihatkan di depan mataku. Ibu sudah tidak mendengar lagi tangisanku. Mbah menjejaliku dengan berbagai pendapat. Kalau kucing itu bisa membuat aku sakit paru-paru, rabies, dll. Aku yangmasih kecil tetap tak mengerti kalau aku bisa sakit karena kucing. Aku tetap saja menangis. Aku melihat secara langsung bagaimana kucingku dimasukkan ke dalam karung putih. Karung itu lalu diikat dengan dan aku mendengar kucingku mengeong-ngeong di dalam karung. Bapak dan mbah lalu naik motor dan membawa kucing itu pergi. Entah kucing itu mau dibuang ke mana.
Sore harinya, bapak dan mbah pulang dan membawa kabar kalau kucing itu sudah dibuang di daerah kelor atau sekitar 10 km dari rumah. Sementara sejak kejadian siang itu aku mengurung diri di kamar. Menangis meratapi kepergian kucing dan tidak mau makan. Hingga malam aku menunggu kucing itu kembali. Namun hingga esok, esok, dan esoknya lagi kucing itu tidak kembali.
Seiring berjalannya waktu, aku sudah tidak mogok makan dan nangis terus di kamar. Sedikit demi sedikit aku mencoba melupakan kesedihan yang pernah ada. Kehidupan masa kecilku tiak lagi ditemani seorang kucing. Aku bermain bersama anak-anak lain layakya anak normal. Sampai sekarang aku masih punya harapan kalau kucing itu akan pulang ke rumah. Meski kejadian itu sudah sekitar 12 tahun lalu dan kucingku bisa saja sudah mati, aku tetap berharap anak kucingku atau cucu kucingku suatu saat yang akan kembali padaku.
No comments:
Post a Comment