Thursday, June 2, 2011

Perjalanan ke Bojonegoro

Lauk sudah matang,
Nasi sudah matang,
Jus sudah di botol,
Pakaian simbah dan bapak ibu sudah siap,
Mobil jemputan sudah datang,

“Bu kurang apa lagi?” tanyaku.
“Oh ya Dek tolong belikan tempe blibar, permen, dan minyak wangi ke warung.”
“Nggih Bu…”

Setibanya di rumah…
“Ibu mandi dan ganti baju dulu. Adek segera nyapu rumah, sudah kotor. lho”

Segera kuambil sapu warna putih di sudut ruang. Kumulai menyapu ruang tamu, lanjut teras rumah, lalu kamar. Ketika sedang menyapu kamar, tiba – tiba bapak datang.
“Dek, Bulek Yanti tidak jadi ikut ke Bojonegoro. Lek Warti juga tidak jadi. Kamu ikut saja Dek,” ujar Bapak.
“Waduh Pak, saya belum siap apa-apa. Saya juga malu ikut ke sana, kan saya tidak disuruh.”
“Tidak usah malu, mobilnya masih sisa muatan banyak.”
“Saya tanya Ibu dulu ya Pak.”
Saya segera berlari menuju kamar mandi. Ibu yang saat itu masih di dalam kamar mandi langsung saya ketuk-ketuk pintu dari luar.
“Ibu…ibu…”
“Ada apa Dek?” sahut ibu dari dalam.
“Saya disuruh Bapak ikut ke Bojonegoro karena Bulek Yanti dan Lek Warti tidak jadi ikut.”
“Ya sudah Dek ikut saja.”
“Lha saya belum siap apa-apa Bu. Saya juga malu ikut ke sana.”
Tak lama kemudian, Mbah Kakung datang. Beliau juga menyampaikan hal yang sama, menyuruh saya ikut ke Bojonegoro. Akhirnya dengan persiapan seadanya, asal masukin baju, mandi bebek, akupun ikut ke Bojonegoro.

Perjalanan dimulai dari rumah kami di Sanggrahan. Kami lalu berangkat lewat Jalur Semin. Mobil terus melaju. Memasuki daerah Sukoharjo. Kami disambut oleh jalan panjang yang rusak, berlubang, bergelombang, dan macet. Apalagi ketika mendekati pabrik Sritek, lalu lintas macet karena ada truk tronton yang menghalangi. Kamipun putar arah mencari jalan lain. Alhamdulillah perjalanan kami lancar. Kami memasuki kota Solo.

Solo merupakan kota yang indah. Meskipun hanya melintas sejenak di jalannya, suasana jawa tradisional, benteng keratin, pasar tradisional kental terasa. Ketika memasuki Sragen, kami teringat dengan Dek Cica dan mama papanya yang juga sedang menghadiri pernikahan saudara di Sragen.

Ngawi adalah kabupaten yang selanjutnya kami lalui. Perjalanan ke Ngawi pertama kali melalui hutan jati dan entah pohon apa. Namanya Hutan Mantingan. Perjalanan melintas Ngawi sangat lancar. Dari Ngawi kami mengambil arah ke kiri/ke utara/ menuju Bojonegoro.  Perjalanan  gawi – Bojonegoro cukup lama yaitu sekitar 2,5 jam. Kami melalui Hutan Watu Jago dan hutan jati yang panjang. Sungguh ngeri membayangkan melakukan perjalanan malam di sini. Hutannya panjang, jalan rusak bergelombang, di kanan kiri jalan terdapat jurang, tidak ada rumah penduduk ataupun lampu listrik.
Setelah 1 jam lebih melintas di hutan, kami keluar dan mendapati rumah penduduk. Kami berjalan di atas jalan yang sangat bergelombang sehingga kami berjalan hanya dengan kecepatan maksimal 30-40 km/jam. Seisi mobil langsung dibuat bergoyang bahkan “kocak” istilah mbah putri. Sungguh ini perjalanan yang luar biasa apalagi ditambah pemandangan rumah penduduk di kanan – kiri jalan yang masih sangat sederhana. Pikiranku langsung melayang ke mana – mana, diantaranya :
1.      Apakah benar ini jalan utama antar kabupaten Ngawi-Bojonegoro?
Jawab : Benar, ini adalah jalan utama. Ada jalan lain menuju Bojonegoro namun harus memutar jauh.
2.      Mengapa jalannya bisa bergelombang seperti ini?
Jawab : Ada banya kemungkinan. Aku hanya mengira – ngira dalam hati tanpa bisa mengungkapkan saat itu. Mungkin karena struktur tanahnya yang labil sehingga menjadikan jalannya bergelombang. Mungkin karena sering dilalui truk-truk tronton bermuatan berat sehingga menjadikan jalannya ambles. Mungkin karena aspalnya tidak bagus sehingga cepat rusak. Mungkin karena jalannya sudah lama tidak diperbaiki. Mungkin ini…mungkin itu…aku tak tau pasti. Hanya bisa berharap semoga besok jalannya segera diperbaiki. ^_^
3.      Kata simbah jalan ini sudah rusak sejak dulu. Jadi apakah memang struktur tanah yang labil yang membuat jalan di sini rusak?
4.      Wah lewat jalan rusak bergelombang seperti ini jadi ingat cerita di Three Cups of Tea dan Stones into Schools. Teringat dokter Greg yang menyusuri pedalaman Pakistan dan Afganistan naik Yak dan Jip. Katanya jalannya sangat sulit, berdebu, sempit, dan sepanjang jalan tubunhnya bergoyang-goyang tak karuan.
5.      Wah kalau jalannya rusak seperti ini, bisa membuat ban mobil bocor dan shock mobil rusak. Em..pantesan Pakde Amin ganti mobil, katanya takut mobil sedannya tidak sanggup menyusuri medan ini.
6.      Jalan kota besar di pulau jawa saja seperti ini, lalu bagaimana dengan jalan – jalan di luar jawa?Apakah sudah bagus?ataukah masih banyak yang belum punya jalan?bersyukur deh^_^
7                                    
Ru Rumah asli penduduk Bojonegoro ternyata seperti rumah dapur penduduk Jawa. Rumah – rumah ini sangat sederhana. Terbuat dari kayu blabak yang disusun horizontal. Ukurannya lebih kecil dari rumah limasan jawa. Lantai rumahnya masih terbuat dari tanah dan yang paling unik adalah letak kandang ternak (sapi&kambing) berada di depan rumah. Bahkan ada yang ditaruh di emperan rumah. Aku sempat heran mengapa di pinggir jalan utama, rumah-rumah dan budaya penduduknya masih sangat sederhana. Rumah dari tembok masih sangat sedikit.  Aku juga masih banyak menjumpai anak – anak kecil menggembala kambing. Kagum juga masih ada anak muda menggembala kambing. Jadi teringat jamanku masih kecil sering menggembala kambing, sapi, bebek bersama kakek. Apa yang aku lakukan mungkin wajar karena sudah 10-15 tahun yang lalu. Lagipula rumahku di pelosok Gunungkidul. Tapi ketika aku melihat kejadian ini di tahun 2011, aku jadi terheran – heran. Yang paling aneh, budaya kehidupan mereka kok masih sederhana? Padahal mereka dilalui jalan utama yang sangat mudah untuk akses informasi, teknologi, dan perkembangan daerah sesuai ilmu sosiologi jaman SMA, hehe.  
8.      Kata Ibu dan simbah, “besok istri Mas Bowo (masku yang mau nikah) harus hati – hati lewat sini kalau pas hamil. Nanti bisa keguguran…”

Jalan terus bergelombang hingga akan mendekati pusat kota Bojonegoro. Adapun jalan bergelombang tadi letaknya di kecamatan Ngraho dan Padangan. Hehe ternyata di Bojonegoro juga ada Padangan. Di sepanjang jalan, kami juga menjumpai orang-orang unik. Ada jalan yang tergenang air, lalu ada beberapa pemuda yang menyegat kami dan meminta uang. Katanya uang untuk memperlancar jalan. Saat saya liat jalan yang tergenang air, ternyata airnya bersumber dari parit di tepi jalan yang bobol. Paritnya kecil dan terbuat dari tanah. Ditambal dengan tanah sedikit saja kayaknya sudah bisa menghentikan aliran air. Tapi entah mengapa tidak ada yang membendung parit itu. Hingga saya pulang dari Bojonegoro, parit itu masih dibiarkan bobol.

Setelah 1 jam melewati perkampungan penduduk yang sederhana dan sepi, kami sampai di sebuah kota kecamatan. Dari pertigaan di kota kecamatan ini, kami mengambil arah kiri/timur menuju Bojonegoro, sedangkan arah kanan menuju Cepu. Kami masih melewati jalan yang bergelombang. Di kanan jalan terdapat rel kereta api yang bisa menghubungkan Jakarta-Bojonegoro-Surabaya. Sepanjang perjalanan, pemandangan hamparan sawah yang luas sungguh menyejukkan mata, sayang sepanjang perjalanan ini kami menjumpai banyak sawah yang tidak ditanami padi, hanya ditumbuhi oleh rumput. Ketika sudah hampir sampai di kota Bojonegoro, Sungai Bengawan Solo menjadi objek pemandangan kami. Sungguh sungai Bengawan Solo ini penuh dengan air. Terdapat beberapa gethek atau perahu di sungai.

Pukul 16.00 kami sampai di Bojonegoro. Kami langsung menuju Hotel Pazia. Hemm..hotelnya mewah…baru kali ini ke hotel mewah seperti ini bareng-bareng kelurga. Ada Tv, ada AC, kasur empuk, makanan gratis, dll. Tak hanya itu, hamparan sawah dan kota Bojonegoro terlihat indah dari atas hotel. Alhamdulillah..

No comments:

Post a Comment