Saturday, November 6, 2010

Merapi di Malam Itu

Seiring redup cahaya lilin, aku  mulai membuka makalah pertama. Habis magrib itulah aku mulai belajar untuk persipan ujian esok hari. Seharian tadi, aku bersama Oktri dan Rina mengerjakan tugas. Alhmdlh tugas sudah selelsai. Baru sebentar membaca, alhamdulillah listrik menyala. Aku tak perlu lagi bersusah payah membaca dalam redup cahaya lilin. Namun, baru belajar 1 makalah, terdengar  pintu kamar diketuk. Aku keluar untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Mas Abi, hendak mengambil surat ijin sakit Dek Mutia yang tadi dititipkan kepadaku. Tepat ketika Mas Abi selesai menyampaikan maksudnya, listrik mati lagi. Suasana kost menjadi gelap. Saya menyalakan lilin dan Mas Abi masih tinggal di emperan kost. Akhirnya kami berdua mengobrol di emperan kost diiringi cahaya lilin. Waduh..kaya sepasang kekasih aja yang terjebak di kondisi yang romantis. Hehe..Untung banyak orang di kost..
Sekitar setengah jam kemudian, Ms Abi pulang. Aku kembali melanjutkan belajar. Di sela belajar, saya sempat ditelpon ibu. Menggabarkan pemakaman almarhum pak bupati. Hingga pukul 22.30, listrik belum juga menyala. Aku keluar kamar, kulihat masih hujan abu. Aku lalu menuju kamar Mbak Destri. Aku minta tolong kalau ada apa-apa, saya diberitahu karena Dek Mutia dan Mbak Retno yang kamarnya berdekatan denganku sudah mudik semua. Aku tergolong berada jauh dari kamar teman kost.
Pukul sebelas malam, aku bersiap tidur dengan penerangan cahaya lilin yang aku taruh di lantai kos agar tidak terjadi kebakaran. Belum lama terlelap, pintu kamar diketuk. Aku terbangun dan listrik sudah menyala.Kulihat waktu sudah pukul 00.15 dini hari. Kubuka pintu dan kulihat siapa yang datang. Ternyata Mbak Destri.
“Cahya, bangun!Hujan pasir!”
Aku yang masih ngantuk, kaget pula dibangunkan malam-malam dan dapat kabar seperti itu. Aku lalu penasaran dan melihat keluar. Tidak terlihat jelas bentuknya seperti apa, namun suara pasir berjatuhan dan kotoran berwarna abu-abu di tanah sudah cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi. Bersamaan dengan aku memandang keluar, suara sirine terdengar melewati Jalan Gejayan, membuat panik keadaan. Apalagi ditambah suara pengumuman dengan pengeras suara yang berisi instruksi agar warga jogja di sekitar Gejayan bangun dan bersiap menghadapi keadaan. 
Seketika itu juga semua penghuni kost panik. Ada yang packing barang-barang di tas. Ada yang menghidupkan motor. Ada yang berteriak heboh karena ketakutan. Aku ikut siap-siap juga. Tapi tidak ikut packing. Aku siap-siap dengan cara bawa senter, pake jaket tebal dan masker. Bunyi gemuruh Gunung Merapi membuat kepanikan kami semakin bertambah. Aku menuju kamar Anis, teman kostku yang punya televisi. Aku lalu menonton berita. Anis dan temannya tidak panik ingin pergi dari kost. Mereka justru selalu memantau berita. Akhirnya seluruh penghuni kost tidak ada yang jadi pergi mengungsi. Dini hari itu, kami semua nonton berita untuk mengetahui perkembangan yang ada.

Pukul 3 aku berpamitan untuk kembali ke kamarku. Rencananya untuk belajar, namun malah ngantuk dan tertidur. Pukul 04.30 baru bangun. Aku mengambil air wudhu sambil melihat keadaan di luar. Hujan pasir masih berlangsung, namun tidak sederas dini hari tadi. Suara gemuruh Gunung Merapi juga masih terdengar. Dering telpon berbunyi. Telpon dari ibu. Beliau cemas semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan saya. Saya bilang ke ibu kalau saya baik-baik saja.
Di antara gemuruh Gunung Merapi dan hujan pasir yang masih berlangsung, aku mencoba belajar untuk ujian jam 7 pagi. Materi sudah selesai saya pelajari namun sepertinya hanya sedikit yang nyantol di otak. Pikiran saat itu melayang ke mana-mana, tidak bisa konsentrasi.Paginya aku mandi dan bersiap berangkat kuliah. Saat berangkat kuliah, di sepanjang perjalanan terjadi hujan abu yang cukup tebal sehingga mengganggu kegiatan kuliah. Akibatnya kuliah diliburkan, mengingat GOR akan digunakan sebagai tempat pengungsian dan kampus tertutup abu.
Perjalanan ke kampus aku tempuh dengan naik motor. Sepanjang perjalanan, abu vulkanik tebal berterbangan di jalan. Setelah sampai di kampus aku baru dapat pengumuman kalau kuliah diliburkan. Aku langsung meninggalkan kampus dan berangkat ke Gunungkidul. Jalan menuju Gunungkidul juga dipenuhi hujan abu. Namun ketika naik ke daerah patuk, abu vulkanik sudah tidak tebal. Selama di perjalanan, aku sempat melihat orang naik motor berboncengan. Motor yang mereka naiki kotor sekali tertutup abu vulkanik. Aku mengira mereka adalah warga sekitar lereng merapi yang hendak mengungsi ke Gunungkidul.

Alhamdulillah sekitar pukul 09.30 aku sudah sampai rumah dengan selamat. Sungguh damai rasanya bisa kembali ke rumah. Namun, sesampainya di rumah aku tidak bisa bertemu dengan bapak dan ibu. Mereka masih masuk kerja, tapi untungnya aku masih bisa bertemu mbah putri. Saat bertemu mbah putri, beliau menceritakan peristiwa meninggalnya Pak Sumpeno, tumpukan karangan bunga, Mas Yopi yang tidak bisa datang menghadiri, hingga luapan pentaziah yang memadati pemakaman beliau. Beberapa jam kemudian, aku bisa bertemu bapak ibu. Alhamdulliah..kebahagiaan yang luar biasa. Apalagi jika dibanding nasib pengungsi.The End.







No comments:

Post a Comment