Wednesday, December 8, 2010

TAJIN

Daun padi hijau menyala, tersiram curahan sinar mentari yang baru saja bangun dari peraduan. Samar – samar terdengar kicauan burung emprit yang biasanya pagi buta telah memakan padi di sawah petani. Deru motor memecah kesunyian desa yang tentram.
 Di sebuah rumah, di mana sinar mentari menembus ke dalam melalui celah dinding bambu yang sudah tua, aku duduk. Duduk bukan sekedar ditempat duduk sambil santai mendengarkan musik pagi ataupun menikmati sarapan pagi. Aku berusaha menjaga nyala api di tungku batu agar tidak padam. Meniup, mengatur posisi kayu, ataupun mengipasinya dengan kipas bambu. Di atas perapian, ketel nan legam termakan angus1 bertengger dengan tenang.  Di dalam ketel itu, biji – biji beras bergemuruh bersama air mendidih hendak matang.
            Mbok2 saya minta tajin3 ya?”
            ” Iya Nduk, cepat kamu ambil tajinnya sebelum airnya kering.”
Aku berhati – hati mengambil air beras yang ada di ketel. Aku tuangkan ke dalam mangkok kecil berwarna putih kusam. Tak lupa aku menaburi air tajin yang telah dituang dengan gula merah yang diiris kecil – kecil. Air beras dan gula merah itu aku aduk agar merata. Setelah siap aku hidangkan di meja.
            ” Nduk, kenapa belum kamu makan tajinmu itu? Nanti keburu dingin.”
            ” Tidak Mbok, tajin itu untuk Mbok,” kataku.
            ” Nanti Mbok bisa makan singkong yang akan dibawakan bapakmu sepulang dari ladang.
  Tajin ini kamu makan dulu. Kamu harus sarapan sebelum berangkat sekolah, Nduk.”
Baiklah Mbok, akan saya makan tajin ini.”
Perasaan gembira menyelimutiku. Lapar yang mendera sepanjang hari nanti akan sirna oleh sedikit tajin ini. Aku juga tidak akan diolok – olok temanku lagi dengan kata – kata ”Si Bocah yang kelaparan” ataupun ”Si Bocah yang tak pernah sarapan.”  Berbekal sarapan tajin tadi, aku berangkat riang gembira ke sekolah kecil di pusat desa. Langkahku ringan seperti kapas. Dadaku bergemuruh seperti genderang ditabuh. Maklumlah, hari – hari sebelumnya aku tidak pernah sarapan. Untuk membeli kebutuhan sehari – hari sulit bagi keluargaku, apalagi membeli susu untuk sarapan pagi seperti teman – temanku.
~~~☺~~~

Sesampainya di sekolah, teman – temanku belum banyak yang datang. Suasana kelas masih sepi. Seperti biasanya aku selalu menjadi murid yang berangkat paling awal ke sekolah. Sambil menunggu teman – temanku datang, aku membaca buku cerita yang kemarin aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Aku membaca buku cerita itu sambil mondar – mandir di dalam kelas seolah sedang mempelajari pelajaran yang sulit. Sesampainya di pojok ruangan ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sekor tikus kecil berwarna hitam terperangkap di dalam tempat sampah. Aku sangat tertarik untuk mengamatinya. Kudekatkan kepalaku ke dalam tempat sampah itu. Betapa takutnya tikus itu ketika aku mendekatinya. Tikus itu melompat – lompat ketakutan di dalam tempat sampah itu. Lompatan yang cukup hebat membuat tempat sampah yang hanya terbuat dari plastik itu jatuh terguling. Serta merta tikus itu dengan mudah kabur dari tempat sampah yang telah menjebaknya selama ini.
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa aku dan teman – temanku sudah duduk rapi di depan meja masing – masing. Di depan kelas, Bu Kusmi sudah siap mengawali pelajaran hari ini. Seperti biasanya, beliau selalu mengecek keadaan kami. Tak terkecuali menanyakan kepada kami sudah sarapan atau belum.
            ”Anak – anak sudah sarapan belum?” tanya ibu guru sopan.
            ” Tentu sudah Bu! Saya sarapan susu dan telur pagi tadi,” celoteh temanku.
Kini giliran ibu guru menanyaiku. Dengan perasaan senang aku siap menerima pertanyaan dari ibu guru. Lain halnya dengan ibu guru, dia tentunya merasa yakin bahwa aku seperti biasanya tidak pernah sarapan.
            ”Ratmi sarapan tidak pagi tadi?”
            ”Tentu Bu, saya sarapan!”
            ”Ratmi sarapan?Benarkah?”
            ” Iya Bu, saya sarapan dengan tajin.”
            Tiba – tiba tawa gemuruh teman – teman terjadi ketika aku selesai mengucapkan kata ”tajin”.
            ”Hah apa itu tajin? Makanan jaman purba ya?”
            Celetuk seorang temanku membuat tawa di kelas semakin bergemuruh.
            ”Anak – anak tenang, kalian tidak boleh mengejek teman kalian.”
            ” Kami tidak mengejek Bu, tapi itu kenyataan. Masa di jaman sekarang masih ada yang
makan tajin.”
            ”Anak – anak ayo tenang, kita akan segera memulai pelajaran.

~~~☺~~~
            Perasaan gundah gulana mengiring perjalanan pulangku dari sekolah. Langkah yang tadi pagi terasa ringan, kini seolah dibebani batu berton – ton beratnya. Mataku sayu, hatiku sakit, semangatku pudar. Tajin yang tadinya menjadi andalanku untuk sarapan pagi ini sekarang bak aib yang telah mempermalukanku dengan seisi kelas. Pikiranku benar – benar telah terkonsentrasi pada kejadian tadi pagi di kelas. Aku hingga tidak menyadari buah mahoni berterbangan jatuh dari pohon yang tak jauh berada di sampingku. Cara jatuh buah mahoni yang berputar – putar indah benar – benar tidak menarik pandangan mataku yang hampa. Biasanya sepulang sekolah aku memunguti buah mahoni bersama teman – temanku. Buah itu biasanya aku hadiahkan untuk kakek. Kakek telah mengobati berbagai penyakit hanya dengan mengkonsumsi buah mahoni itu. Namun kali ini aku menghiraukannya. Aku terus berjalan pulang, sudah tak sabar aku menumpahkan kesedihan ini di rumah.
            ”Nduk kamu ini kenapa?Sampai rumah nangis.”
            ”Saya diejek Mbok gara – gara sarapan tajin.
            ” Siapa yang ngejek Nduk?”
”Teman – teman sekolah Mbok. Mereka mengejek saya gara – gara hanya sarapan tajin. Kata mereka itu makanan kuno, jaman purba, ketinggalan jaman jika di makan di jaman modern ini.”
Mbok seketika itu mendadak sedih. Iya berusaha menahan air matanya yang sudah hampir jatuh. Perasaan bersalah karena tidak mampu membelikan aku sarapan yang baik telah menyelimuti hatinya. Usahanya berhutang beras agar bisa memasak nasi dan memberi aku sarapan tajin  ternyata tak ada gunanya. Semuanya sia – sia karena anak yang sangat dicintainya diejek teman – teman sekelasnya.
” Mboh sudahlah jangan sedih lagi. Besok Mbok tidak usah repot – repot siapkan nasi dan tajin lagi. Biar saya tidak sarapan lagi seperti biasanya.” Aku lalu bergegas pergi ke kamar meninggalkan Mbok yang masih duduk termenung.
Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah seperti biasanya. Aku tidak sarapan lagi seperti hari – hari sebelumnya. Sesampainya di kelas, suasana masih sunyi. Namun selang beberapa lama kemudian teman – temanku dan Bu Anita sudah masuk ke kelas. Kami semua siap belajar biologi. Bu Anita kali ini memulai pelaran dengan tanya jawab.
” Anak – anak sudah sarapan pagi ini?” tanya Bu Anita.
” Sudah Bu!” jawab teman-temanku serempak, kecuali aku.
” Anak – anak sarapan apa pagi ini?” Bu Anita bertanya kembali.
” Nasi goreng telur Bu!”
” Susu dan mie instan Bu!”
” Aku sarapan nasi dan daging sapi impor!” teman-temanku menyeletuk.
” Ratmi kamu sarapan apa pagi ini?Ibu lihat kamu diam saja dari tadi.”
” Em....” aku bingung
” Ah paling Ratmi paling sarapan makanan purba, kalau tidak salah namanya tajin,” Jeni mengejek.
” Jeni, jangan berbicara seperti itu dengan temanmu sendiri. Ibu tidak suka kalau murid – murid Ibu berkata seperti itu.” Bu Anita sedikit marah kepada Jeni. Beliau lalu ke depan kelas.
” Nah anak – anak dari hasil diskusi tadi, ibu lihat ada yang sarapan menggunakan nasi, mie, roti, dsb. Coba siapa yang tahu, kira – kira makanan tersebut termasuk golongan apa?”
” Makanan lunak Bu!” jawab Tito.
Coba Tito jelaskan mengapa menyebut nasi, roti dsb sebagai makanan lunak?” Bu Anita bertanya.
” Empuk Bu!” teman Tito membantu.
” Coba ada jawaban lain?” Bu Anita kembali bertanya.
” Karbohidrat Bu,” Mayang menjawab.
” Bagus, tepat sekali Mayang,”
” Nasi, roti, mie, umbi – umbian merupakan makanan yang banyak mengandung karbohidrat. Karbohiodrat adalah zat makanan yang penting bagi tubuh kita. Sarapan dengan karbohidrat akan memberi sumbangan energi yang besar bagi tubuh kita,” Bu Anita menjelaskan.
” Ibu tertarik dengan menu sarapan Ratmi, tajin. Tajin tidak kalah hebatnya dengan makanan lain, tajin memilki kandungan karboidrat yanbg tinggi pula. Apalagi ditambah taburan gula jawa akan membuat kandungan enrgi akan semakin besar.”
Teman – temanku terkesima mendengar penjelasan Bu Anita. Aku sendiri juga tidak terlepas dari rasa kaget. Tajin yang kemarin menjadi bahan olok –olokan teman – teman, sekarang justru dipuji oleh Bu Anita. Hatiku yang sejak kemarin tertutup mendung kesedihan, tiba – tiba seolah mendapat sinar mentari yang memberi kebahagiaan. Aku senang sekali dan todak sabar ingin mengabarkan berita gembira ini kepada Simbok.
”Tet..tett...”
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku langsung bergegas keluar kelas, namun tiba – tiba bahuku ditahan.
” Ratmi, maaf ya kami sudah mengejek kamu dan menu sarapanmu,” ucap Jeni sambil memegang bahuku.
” Iya Ratmi, kami telah salah dalam menilai tajinmu. Aku sekarang tidak akan mengejek kamu dan juga tajinmu. Aku justru ingin mencoba sarapan tajin, ucap Cika sambil tersenyum.”
Aku sungguh terharu. Aku langsung menarik mereka dalam pelukanku. Tak terasa air mataku berderai, tenggelam bersama pelukan teman – teman.
Sekalipun berat melepas pelukan teman- teman, namun aku harus segera pulang. Aku harus segera menemui Simbok. Sambil berlari kecil aku senyum – senyum sendirian. Sesampainya di rumah aku langsung mencari Simbok.
” Mbok..mbok!”
” Iya Ratmi ada apa?” jawab Simbok dari ladang di belakang rumah.
Aku berbegas menuju sumber suara Simbok yaitu ladang di belakang rumah. Tak terelakkan lagi ketika aku sudah bertemu Simbok, aku langsung memeluknya.
” Simbok maafkan Ratmi sudah membuatmu sedih. Ratmi nakal tadi pagi tidak mau sarapan tajin. Padahal tadi di kelas bu guru menjelaskan kalau tajin itu tidak kalah hebat manfaatnya dengan makanan – makanan mahal yang lain, ” jelasku sambil menangis tersedu.
” Syukurlah Nduk4, Simbok ikut senang.”
” Iya Mbok, bahkan teman – teman yang kemarin mengejek Ratmi, tadi sudah minta maaf.”
” Iya Nduk, tidak malu lagi sarapan tajin kan?” Simbok meledek.
”Tentu, ” jawabku sambil tersenyum.
Kamipun berpelukan kembali.
~~~☺~~~


Gunungkidul , 2010





No comments:

Post a Comment