Saturday, December 11, 2010

Tiga Anak Kecil

            Siang itu dua anak perempuan kecil berjalan beriringan di jalan setapak. Jalan yang mereka susuri terbuat dari tanah dan membelah sawah yang menguning di kanan kirinya. Seorang anak yang lebih tua berjalan di depan sedangkan anak yang satunya mengikutinya di belakang. Anak yang di depan berjalan dengan gembira sambil tertawa. Anak yan berada di belakang hanya diam, menyimpan kebingungan.
            Di kejauhan terlihat seorang anak laki-laki kecil berjalan semakin mendekati mereka. Kini tawa hadir di bibir mereka berdua setelah tawa itu hanya dimiliki oleh anak yang berjalan di depan.
            “ Eh Febri sudah pulang sekolah ya?” tanya anak yang lebih kecil.
            “ Iya, aku sudah pulang sekolah. Bu Guru mau pergi rapat” jawab Febri.
            “ Kalau begitu, ayo ikut main bersama kami,” ajak anak yang lebih besar.
            “ Kemana?”
            “ Ayo ikut saja,” anak yang lebih besar meyakinkan.
            Akhirnya Febri mau ikut pergi bersama dua anak tersebut. Febri berbalik arah, menyusuri kembali jalan yang telah dia tempuh. Siang yang terik, ketiga anak itu berjalan beriringan di jalan sawah. Kian lama kian jauh hingga tidak terlihat lagi, hingga ujung sawah tlah habis mereka lalui.
            “Febri hati-hati menginjakkan kaki, tebing di sini curam dan berbahaya,” anak yang lebih besar mengingatkan.
            “Iya Kak, banyak duri juga di sini,” anak yang lebih kecil menambahkan.
            Kini, mereka bertiga sedang berjalan di tepi tebing yang curam. Di sebelah kanan mereka terdapat gunung yang ditumbuhi pohon- pohon jati dan semak belukar. Di sebelah kiri mereka terdapat jurang yang dalam dan di bawahnya mengalir sungai yang berbatu.
            Tiga anak kecil itu saling berpegangan, saling bantu menarik teman, saling berpegang pada batu agar tidak jatuh. Mereka sungguh telah melakukan hal gila. Berkeliaran di antara tebing yang curam, tanpa ada orang lain di sekitar mereka. Namun mereka sepertinya tidak peduli ataukah mereka belum mengerti betapa besar bahaya yang mereka hadapi.
            Tiga anak kecil tersebut terus berjalan, dan mereka berhasil melalui tebing yang curam itu. Mereka telah sampai di sebuah jalan yang besar meskipun berbatu. Mereka terus berjalan dengan riang, menuju suatu tempat yang mereka impikan. Mereka berjalan menuju sebuah jembatan. Ikan – ikan kecil terlihat jelas sedang berenang di sungai bawah jembatan. Tiga anak kecil itu tertarik pada ikan – ikan itu. Mereka lalu menghentikan langkah mereka, lalu turun ke bawah jembatan untuk melihat ikan – ikan itu. Sempat salah satu dari mereka berpikiran untuk menceburkan diri ke sungai dan menangkap ikan itu, namun ternyata keinginan melihat tempat yang mereka impikan telah mengalahkan niat mereka menceburkan diri ke kolam.
            Mereka lalu meninggalkan sungai itu, kembali meneruskan perjalanan. Jalan yang mereka tempuh kini menanjak, amat tinggi untuk anak kecil seukuran mereka. Namun mereka terus berjalan menuju puncak jalan itu. Karena mereka yakin di ujung tanjakan itu ada jalan yang menurun lalu mereka akan menemukan rawa yang indah dengan teratai di atasnya. Mereka yakin akan menemukan gunung dan gua yang indah. Akhirnya mereka terus bertekad mengayunkan langkah meskipun sebentar-sebentar istirahat di jalan.
            Ujung tanjakan hampir mereka capai ketika seorang nenek tua muncul dari balik tanjakan. Nenek itu menggendong tenggok1 dan berjalan menghampiri mereka.
            ”Nduk, Le, kalian mau ke mana?” tanya nenek itu.
            “Mau ke rawa Mbah,” jawab anak perempuan yang kecil.
            “Weleh-weleh kalian ini anak kecil jangan main ke rawa, berbahaya kalau tidak ada orang besar yang mengawasi.”
            “Kami sudah besar kok Mbah, jawab anak perempuan yang lebih besar.
            “Sekarang simbah sarankan untuk pulang saja, lihat langit sudah mendung mau hujan, nanti orangtua kalian cemas,” ujar nenek itu. Nenek itu lalu pergi meninggalkan mereka, berjalan menuruni tanjakan.
            Mereka bimbang namun akhirnya mereka mengikuti saran nenek itu untuk kembali pulang. Ketika mereka berbalik untuk menuruni tanjakan, banyangan nenek itu sudah tidak terlihat. Entah karena nenek itu berjalan cepat sehingga sudah tidak terlihat ataukan nenek itu hantu?
            Mereka berjalan pulang menyusuri tebing, sawah dan sampailah di kampung tempat mereka tinggal. Sesampainya di kampung, kehebohan besar menyambut mereka. Ya, mereka telah membuat seisi kampung cemas. Kepergian mereka bertiga tanpa pamit telah membuat seisi kampung kelabakan mencari mereka. Kini warga dan orangtua anak-anak itu lega meskipun masih marah. Anak perempuan besar yang mendapat perlakuan lebih memprihatinkan kerena dialah anak terbesar meskipun usianya baru 8 tahun. Anak  perempuan besar itu dimarahi orangtuanya sendiri dan juga orangtua dari dua anak yang lain, terutama ayah Febri. Ayah Febri tidak terima anaknya yang masih berusia 5 tahun di ajak pergi ke tempat yang berbahaya oleh anak perempuan itu. Anak perempuan itu sempat berhari-hari tidak keluar rumah karena dimarahi orangtuanya sendiri dan juga orang tua yang lain. Anak perempuan itu sangat takut, terutama kepada ayah Febri.
            “Jangan dekati anakku lagi!” bentak ayah Febri suatu hari.
            Seiring berjalannya waktu, ayah Febri, Febri, anak perempuan yang kecil, dan anak yang perempuan yang besar telah rukun kembali. Tiga anak kecil itu kembali meniti kehidupan menuju usia yang kian menanjak seperti jalan menanjak yang tak sempat kami capai. Ya, anak perempuan berusia 8 tahun yang telah menyesatkan dua anak orang itu adalah saya sendiri, Cahyani Eka Romadhoni. Anak perempuan kecil yang satunya adalah Dek Putri, tetanggaku yang kini sedang menimba ilmu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedangkan Febri adalah tetangga dekatku sewaktu saya masih tinggal di Silingi. Kini Febri sedang sekolah di SMA Muhammadiyah Ponjong.
            Mengapa saya bisa berbuat hal gila seperti itu? Mungkinkah mereka masih mengingat hal gila itu? Mungkinkah orangtua mereka masih membenciku? Apapun yang terjadi saya sangat bersyukur masih diberi keselamatan saat itu. Biarlah kisah ini menjadi pengalaman yang berharga bagiku dan tentunya kepada dua anak yang lain. Ya semoga…

                                                                                    Teruntuk teman kecilku : Putri dan Febri
                                                                                            Gunungkidul, Desember 2010
           
           

1 comment:

  1. Asik baca cerita yg ini, tapi dah ngantuk mo bobok dulu, besok lagi ya Tante....pareng.

    ReplyDelete