Saturday, March 12, 2011

PETUALANGAN DI TELINGA

           Dug..Masih teringat jelas kejadian kemarin sore. Sebuah tendangan keras kapten kesebelasan bernomor punggung delapan, membuat bola itu singgah di kepala ayah. Sekarang hanya pening yang masih tersisa. Aku bisa mendengar teriakan protes sel – sel yang rusak akibat benturan bola. Kepala ayah yang ditumbuhi rambut hitam keputihan terasa berdenyut, telinga ayah yang bersih tanpa tindikan terasa sakit pula. Seperti ada gaya yang menyedot, tiba – tiba tubuhku mengecil sampai sebesar pasir yang berserakan di depan rumah. Aku terbang dan masuk ke dalam terowongan yang begitu besar. Aku masuk ke dalam telinga ayahku. Aku melewati terowongan gelap. Lantai yang aku tapaki begitu licin, mungkin lendir dalam telinga.  Terkadang kakiku tersandung bola – bola hitam sebesar bola sepak.
“Apakah yang kutemui sekarang ini adalah bola yang dulu mengenai ayah?”, tanya hatiku.
Namun, pertanyaan itu segera terjawab. Bola – bola hitam yang kutemui saat ini adalah kotoran telinga. Kutinggalkan bola – bola hitam. Aku meneruskan perjalanan sunyi dan gelap ini. Kuterus berjalan entah ke mana. Ya, aku berjalan tanpa tujuan. Ada yang memaksa hatiku, membawa dua kaki melangkah tertatih – tatih. Sepertinya ada gravitasi yang menarik tubuh secara perlahan. Entah itu gravitasi apa. Yang jelas bukan gravitasi surya ataupun gravitasi bumi.
Beberapa saat berjalan, tubuhku terhuyung – huyung karena lendir licin yang mengalir di sepanjang terowongan. Aku tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh. Grubyakkk....Aku terjatuh. Tersungkur di jalan terowongan yang menurun. Belum sempat berdiri, aku  meluncur menuruni terowongan bagai anak TK yang bermain pelorotan. Di ujung terowongan yang menurun, tubuhku terhenti. Aku berusaha berdiri sambil mengipas – ngipaskan tanganku yan penuh lendir. Lalu kupandangai sebuah lembah yang terlukis jelas di depan pelupuk mataku. Hadir sebuah lembah yang dipenuhi rumput nan hijau. Sebuah matahari kecil tampak malu – malu bersembunyi di antara serombongan awan. Aku berputar memandang sekelilingku. Hampir setengah putaran, aku menghentikan gerakanku. Kulihat wanita bermata sayu di ujung padang rumput. Aku berlari ke arahnya. Semakin dekat, semakin kuyakini bahwa yang kulihat adalah ibu.
“ Ibu, apa yang kau lakukan?”
“ Lihatlah Nak, Ibu sedang menanam pohon di padang ini?”
Aku memandangi pohon yang ditanam ibu. Pohon kecil berdaun hijau yang tingginya kurang lebih 40 cm. Tangan ibu yang mulai keriput dengan cekatan menggali lubang untuk menanam pohon itu. Lalu ibu menenam pohon itu. Tidak! Ibu menanam pohon dengan posisi ujung batang di bagian bawah dan akar di bagaian atas.
“ Tapi Ibu....,” belum sempat menyelesaikan pertanyaanku, ibu berlari meninggalkanku.
Berkali – kali aku memanggil ibu. Tapi ibu tidak menoleh. Bayangan ibu semakin menjauh . Aku berlari mengejar ibu. Aku melewati hamparan padang rumput, jalan setapak nan berbatu, dan memasuki terowongan lagi. Kali ini jalan terowongan menanjak. Tidak kujumpai lendir ataupun bola – bola hitam di sepanjang jalan. Yang kujumpai hanyalah dinding – dinding terowongan yang elastis dengan udara lembabnya.
Aku tidak lagi melihat ibu. Bayangannya tertelan di persimpangan jalan. Namun, sayup – sayup kudengar suara ibu melantunkan tembang Jawa. Aku mencari sumber suara ibu. Kelak – kelok terowongan kulalaui. Akhirnya aku menemukan ibu sedang mandi di sebuah sungai. Sungai dengan air yang berwarna merah darah. Airnya mengalir dari bawah ke atas. Tidak kujumpai ikan, udang, ataupun kura – kura di sungai ini. Yang kujumpai justru ayam – ayam yang berenang riang.
            “ Ibu, ayo ikut aku tinggalkan tempat ini!”
            Ibu hanya tersenyum kemudian melanjutkan melantunkan tembang jawa sambil berendam di sungai.
            “ Ibu, ayo keluar. Ayah menunggu kita.”
            Entah bagaimana caranya, tiba – tiba ibu berada di sampingku dan menggandeng tangan kananku. Aneh, tangan ibu tidak basah. Tangan ibu terasa hangat. Aku merasa damai digandeng ibu. Tiba – tiba sungai di depanku berubah menjadi padang rumput. Sangat mirip dengan padang rumput yang kujumpai tadi. Namun tidak kujumpai lagi matahari kecil yang bersembunyi di balik segerombolan awan. Yang kujumpai sekarang adalah salju hangat yang turun dari langit. Salju berwarna – warni yang menaburi hati kami. Kuambil segenggam salju yang sudah mengubah padang rumput nan hijau menjadi padang rumput yang warna – warni. Setelah aku mengambil salju, ibu menarik tanganku menuju terowongan yang gerbangnya mulai menutup. Aku dan ibu berhasil memasuki terowongan. Kami meluncur, menuruni terowongan yang licin. Lalu mendaki, berbelok, berputar, meluncur lagi dan akhirnya kami terlempar dari telinga ayah.
Kami lalu duduk di tepi stadion. Kulihat orang – orang di sekitar tidak merasa curiga terhadap kami. Perasaan takut, kaget, senang dan heran yang masih menghinggapi pikiranku, berusaha aku hilangkan. Peluh yang menetes di pundak, aku usap dengan sapu tangan yang diulurkan ibu.
“ Din, kok baru nongol?Emang dari mana sih ?”, seorang teman bertanya padaku.
“ Iya, sudah mulai dari tadi lho!”, Iskha menambahkan.
Secara bersamaan, aku dan ibu menjawabnya dengan sebuah senyuman. Teman – teman tidak memperhatikan kami lagi. Perhatiannya lebih tersita oleh pertandingan sepak bola di hadapan mereka. Kami ikut memperhatikan apa yang mereka perhatikan. Aku melihat tangan ayah mengangkat sebuah kartu kecil berwarna kuning. Ayah menjadi wasit pada pertandingan itu. Syukurlah, rupanya sakit ayah sudah sembuh. Aku dan ibu saling berpandangan. Lalu tersungging senyum di bibir kami. Sungguh senja yang indah.

No comments:

Post a Comment